Tuesday, October 03, 2006

Ada Ilmu Di Cisarua

Oleh: Anggit Saranta_BengkelAO

Ada pepatah yang mengatakan ‘carilah ilmu meski itu hingga ke negeri China’. Ya..itu memang sekedar pepatah, namun sangat berkesan bagi saya. Kadangkala kita tidak melihat sesuatu yang kecil dan dekat sebagai pelajaran. Pengalaman sehari-hari sering terlupakan dan berlalu begitu saja. Berbulan-bulan selama di Bogor saya coba mencari pengalaman dan tambahan ilmu dari tempat-tempat yang selama ini dianggap sebagai monumen proses berkesenian. Kadang ke Jogja, Jakarta maupun tempat lain, tapi belum di Bogor sendiri. Berbulan-bulan dalam proses pencarian seakan menjadi semakna dengan sehari saja saya menemukan hal baru atau ilmu baru. Dan inilah yang beberapa waktu lalu saya alami di kawasan jalur Puncak. Jalur Puncak adalah adalah jalur yang sering dilewati untuk sekedar menyegarkan otak orang-orang jakarta dan orang-orang yang berkepentingan dengan itu. Saya sendiri hanya sekali waktu melewatinya. Tiap berkendara ke sana yang saya pikirkan adalah refresing dan senang-senang. Dan hal itu berlalu begitu saja tanpa saya sadari. Ternyata ada ilmu di Cisarua.

Awal mulanya adalah niat saya bersama kawan Ement, Agung, Okta dan juga Kadir untuk melakukan mobile mengunjungi dan membuka komunikasi dengan komunitas seni atau kantong budaya yang ada di Bogor. Informasi yang di dapat adalah adanya kelompok seni yang berproses di kawasan jalur puncak. Tepatnya kampung joglo Cibereum. Teater Gunung, demikian kami mengenalnya. Teater yang sebagian anggotanya adalah warga kampung kampung tersebut yang bermata pencaharian petani, sopir, tukang parkir hingga penjaga villa. Kedatangan kami saat itu langsung disambut hawa sejuk dan juga pemandangan villa-villa megah yang membelakangi rumah-rumah penduduk. Kami menuju ke rumah kawan Yoel, salah seorang kontak kawan di teater tersebut. Yoel adalah sosok pemuda yang peka dengan realitas dikampungnya. Dia rela meninggalkan studi di Jogja untuk menyadari realitas tersebut. Dan dia mengungkapkan kepekaan tersebut dengan bahasa seni, khususnya teater. Kamipun ngobrol santai, sharing dan juga coba berinteraksi untuk bersinggungan lebih lanjut. Obrolan tentang perkembangan seni, sosial politik dewan kesenian hingga penelusuran tentang ada tidaknya dewan kesenian di Bogor. Yoel di temani rekannya, seorang seniaman kontemporer dari Bekasi yang bertamu saat itu. Ei, demikian ia memperkenalkan namanya. Obrolan kamipun terus meluas. Kopi, gorengan hingga rokok habis kami serap kehangatannya untuk mengusir dingin yang mulai menusuk. Saat itu hari telah beranjak petang dan kenekatan kami bercelana pendek ke kawasan tersebut harus kami tanggung.

Menjelang maghrib kami dikenalkan Yoel pada sosok orang tua yang menjadi pembimbing sekaligus mendorong keberadaan teater gunung. Beliau juga merupakan ayah dari Ei teman Yoel tadi. Yoel menyebut sosok orang tua tersebut dengan sebutan ‘Papa’. Latar belakang beliau ternyata adalah seorang seniman teater yang sangat intens mengenalkan musikalisasi puisi kepada masyarakat, nama beliau cukup dikenal di kalangan teaterawan senior, sastrawan, komunitas yang ada di TIM juga komunitas Bulungan. Freddyarsi alias bung Freddy, demikan nama beliau. Pengalaman berkesenian yang papi (sayapun ikut menyebutnya begitu) jalani cukup mengagumkan. Di eranya beliau ini seangkatan dengan Putu Wijaya, Hamsad Rangkuti dan seniman sastrawan lain di negeri ini. Kamipun banyak belajar dari pemaparan pengalaman beliau. Keliling Indonesia hingga luar negeri pernah beliau jalani dengan sanggar matahari dan pusat bahasa Depdiknas. Konsistensi beliau adalah melaksanakan pengajaran sastra melalui musikalisasi puisi. Bukti otentinya kami saksikan dari foto dan beberapa piagam yang terpampang di dinding rumah beliau. Saat itu kami seperti mendapatkan ilmu baru.

Ketika apa yang kami lakukan di Bogor adalah gerilya seni, mencoba meraba apa yang bisa kami lakukan dan pada saatnya nanti mau kemana, papi menawarkan ruang-ruang lebih luas. Singgungannya mungkin mengarah pada skala yang lebih menasional. Ilmu teaterpun siap beliau tularkan kepada kami-kami yang berminat untuk memperkuat dasar teater yang kami miliki. Demikian juga dengan komunitas film yang coba kami rintis, beliau juga menawarkan untuk menghadirkan teman beliau yang bergerak di sinematografi sebagai tempat sharing. Syaratnya sederhana, asal kami-kami ini serius. Sekali lagi kami merasa tersanjung. Untuk saya pribadi, yang menjadi pengalaman menarik adalah ketika beliau “menodong” saya untuk melakukan pertunjukan atau repertoar kecil mimestreet disitu. Dan menjadi berkesan ketika beliau memberi masukan kepada saya agar melakukan perbaikan olah tubuh. Beliau sendiri siap untuk membantu pengarahan sekaligus menantang saya secara pribadi untuk membawa mimestreet ini keliling Indinesia. Saya akui perasaan saya saat itu bercampur baur antara rasa bangga sekaligus malu. Bangga karena apa yang saya lakukan (mimestreet) menumbuhkan harapan dan keyakinan untuk terus belajar tentang pantomime, malu bahwa dengan kemampuan sedikit saya beliau optimis untuk dilakukan 'roadshow'.

Dari kunjungan itu akhirnya terbentuk sebuah kesepakatan untuk saling tukar informasi dan ilmu antara kami (kalam, bengkelAO dan komunitas lain) dengan teman-teman teater gunung. Saya dalam hal ini bengkelAO sangat menyadari pentingnya singgungan kreatifitas dengan teater gunung, sanggar matahari maupun papi sendiri. Dan secara keseluruhan kami menyadari, ternyata ada ilmu di cisarua.

****

Pada suatu malam yang lain, tetapi masih dalam minggu dan bulan yang sama, perjalanan kami berlanjut. Tetap dikawasan jalur puncak. Tepatnya kawasan Cipayung Cisarua. Kali ini kami berkunjung ke sebuah rumah asri yang tidak jauh dari jalan raya. Rumah yang dibangun mengikuti kontur tanah serta arsitektur yang cukup "nyeni" dengan rerumputan dibawahnya. Pada satu fokus pandangan kami tertuju pada rumah joglo yang cukup unik. Temaram lampu yang malam itu terpancar ikut memeriahkan diskusi kecil yang sedang kami bangun. Pemilik rumah tersebut adalah pak Irsan. Beliau ini merupakan salah satu pengurus yayasan alang-alang, sebuah lembaga yang intens melakukan pendidikan karakter bagi anak-anak. Saat itu kami memang diundang berkunjung oleh beliau. Dan lagi-lagi kami tetap berkunjung untuk sharing tentang berbagai hal yang sudah dan akan kami lakukan. Di rumah itu kami dikenalkan pada seorang Agus Tortor. Beliau juga terlibat dalam berbagai kegiatan Alang-Alang. Yang menarik dari mas Agus ini adalah background beliau yang seorang pekerja seni. Kesehariannya adalah karyawan sebuah Travel di Jakarta, mengajar sinematografi di SMK di Jakarta juga. Kegiatan lainnya adalah di Taman mini khususnya anjungan Jogjakarta sebagai kreator dan mentor dolanan anak (permaian anak khas jawa) “Sinten Purun Kulo Dongengi” sebuah poject art dari para pekerja seni di Jakarta yang pernah bersinggungan dengan Jogja. Alumnus ISI jogjakarta jurusan teater yang juga pernah aktif sebagai volunteer LSM sosial di Jogja. Sungguh suatu hal yang menarik minat dan motivasi saya untuk belajar dari mas Agus ini. Apalagi belakangan saya ketahui petualangan beliau di Jerman pernah tergabung dalam kelompok seni pertunjukan yang salah satunya adalah pantomime.

Kembali pada soal diskusi kecil tadi, kami mendapat tamabahan pengalaman sekaligus ilmu tentang apa dan bagaimana seorang seniamn itu bersikap untuk mengendalikan egonya. Kepekaan-kepekaan sosial dilingkungannya, hingga pada pembahasan kenapa seni budaya dikaitkan dengan pariwisata oleh pemerintah. Sebuah diskusi kecil yang pada intinya tetap kegelisahan bersama bahwa ada sesuatu yang harus kita perjuangkan. Meski itu dari visi masing-masing individu yang ada disitu. Makin malam obrolan kami makin menarik dan seru saja. Sesekali Pedro (anjing peliharaan pak Irsan) ikut nimbrung duduk diantara kami. Dan pak Irsan pun juga sesering mungkin mengusirnya. Namun suasana kehangatan makin terasa ketika obrolan serius tadi mulai mengecil dan menjadi ringan. Dari situ kami mulai saling mengenal lebih jauh. Ternyata mas Agus ini juga seorang mentor yoga. Tentu saja ini juga sebuahkejutan bagi kami. Apalagi ketika beliau memaparkan bahwa media seni dapat dijadikan terapi yang bagus, semacam art theraphy bagi pecandu narkoba, autis maupun stress. Dan ini hal baru juga bagi kami. Disela-sela diskusi ringan itu pendengaran kami menagkap sebauah alunan musik yang sangat memanjakan bathin. Alunan samba sunda, yaitu musik etnik campuran samba brasil dengan suling sunda. Mas Agus ini juga memiliki beberapa koleksi CD musik aliran sejenis yang ironisnya tidak didapatkannya di Indonesia. CD tersebut kebanyakan adalah pemberian koleganya di Eropa. Saya sempat kecewa, berharap dapat informasi membelinya di Bogor, Jakarta, Jogja ataupun Bandung. Ternyata beredarnya justru diluaran sana.

Menjelang pulang, sebelum kami berpamitan pak Irsan menawarkan lingkungan rumahnya yang asri untuk dijadikan tempak kegiatan apresiasi seni teman-teman seniaman. Baik yang tergabung dalam komunitas maupun individu. Hal ini juga diamini mas Agus yang berpendapat tempat ini cocok untuk dilakukan apresiasi seni, sastra maupun musik. Dan itulah hal uang menjadi harapan kami, yaitu terbukanya ruang-ruang apresiasi bagi komunitas yang ada di Bogor. Terbukanya ruang yang terkonsep sudah pasti akan merangsang teman-teman membuat karya. Bahkan jika mau dilakukan untuk digunakan sebagai tempat latihan, Pak Irsan juga mempersilahkan. Pada kesempatan lain mas Agus yang juga saya ketahui sebagai pelaku pantomime di jamannya dulu mengajak saya secara pribadi untuk membuat workshop pantomime di tempat itu. Dan ini sudah pasti saya setujui. Dalam penangkapan saya ini adalah ajakan untuk belajar bersama, jadi kenapa tidak ?. Suatu hubungan dan niatan mulia. Kalaupun ada tendensi dan anggapan macam-macam sepanjang saya tidak merasa "teraniaya" peduli kata orang lah. Sekali lagi terrnyata ada ilmu di Cisarua.

3 comments:

Anonymous said...

ada info ttg tari remong?

Anonymous said...
This comment has been removed by the author.
Maderose said...

hmmm banyak sekali yang bisa kita dapat disini.....



http://doktergigibandung.com/