Tuesday, October 03, 2006

Mata Air di Tegal Gundil

Oleh: Anggit Saranta, BengkelAO

Sabtu itu sebenarnya sama dengan sabtu-sabtu yang lain, tidak ada yang istimewa. Lalu lalang warga Bogor dan juga orang-orang Jakarta yang hendak meniju Puncak menjadi pemandangan biasa sebagaimana sabtu-sabtu sebelumnya. Jalanan ramai dan sesekali ada kemacetan akibat antrian di lampu merah. Beberapa pasangan muda-mudi juga terlihat asyik bercengkerama, entah apa yang mengasyikan mereka pastinya hanya mereka jugalah yang tahu.

Namun bagi saya sabtu itu adalah sabtu yang lain. Berbeda dengan sabtu malam biasanya dimana saya biasa menghabiskan waktu dengan nongkrong di air mancur, ke warnet atau main Playstation 2. Sabtu itu saya menuju Jl Bangbarung Raya, sebuah jalan yang ada di wilayah Tegal Gundil Bogor Utara, tepatnya jalan yang menuju Indraprasta. Di jalan itu ada sebuah warung yang bukan warung biasa. Para pengelolanya menyebutnya dengan “warteg”, singkatan dari Warung Tegal Gundil. Yang menarik warung tersebut ternyata dikelola muda-mudi warga kampung tegal Gundil yang menamakan kelompok/ komunitasnya dengan sebutan “KALAM” Komunitas Kampung Halaman. Warteg di jalan Bangbarung dalam pengamatan saya tidak sekedar warteg dalam arti sebenarnya. Di warung itu terdapat Distro, Perpustakaan baca, dan juga radio komunitas yang mereka namakan BeTe Radio. Lokasi Warteg yang ada di pinggir jalan saya nilai cukup strategis sehingga memudahkan siapapun yang hendak menuju lokasi tersebut. Seperti halnya saya sabtu itu. Meskipun kunjungan saya kali ini bukan yang pertama kali bahkan ini adalah kali ke empat saya berkunjung, tetap saja kedatangan kali ini sangat berkesan bagi saya.

Awalnya saya diajak Amu, anggota KALAM yang saya kenal di Tugu Kujang. Ketika itu saya sedang Performance Mime Street dalam rangka hari bumi 22 April 2006. Amu berdua bersama Sena (juga anggota KALAM) mengenalkan KALAM kepada saya. Dari situlah sedikit demi sedikit saya mengenal KALAM. Sebuah komunitas anak muda yang mencoba menebarkan virus cita-cita bagi anak muda. Berawal dari keprihatinan beberapa pemuda kampung Tegal Gundil atas kondisi kampungnya, dimana ketika itu kebanyakan anak muda Tegal Gundil tidak memiliki orientasi / cita-cita. Nongkrong, main kartu, gitar-gitaran yang tidak jelas bahkan beberapa diantara mereka terjabak pada dunia miras dan narkoba. Akhirnya dari keprihatinan tersebut muncul sebuah keinginan untuk berbuat sesuatu. Kira-kira demikian yang bisa saya tangkap dari narasi tentang sejarah awal berdirinya KALAM yang diceritakan oleh Ridho sang Presiden KALAM. Dari keinginan tersebut akhirnya dikristalkan dengan pembentukan sebuah wadah yang dapat mengakomodir kegiatan-kegiatan kreatif anggotanya. Kemudian muncullah koran alternatif “Berita Tegal Gundil” yang menginformasikan segala kegiatan di seputar kelurahan Tegal Gundal. Kemunculan koran tersebut ternyata mendapat sambutan bagus dari warga. Partisipasipun akhirnya mengalir tanpa diminta. Koran tersebut ternyata ikut mendorong kegiatan-kegiatan positif lain. Titik balik dari kegiatan tersebut adalah terselenggaranya “Pesta Warga” yang melibatkan seluruh komponen yang ada di wilayah Tegal Gundil, semacam festival yang terdiri dari Bazaar, pentas seni hingga nonton bareng. Tak lama kemudian kegiatan seperti Sanggar Barudak, Film Independen, Multimedia, percetakan, sablon hingga event organizer menjadi rutinitas kegiatan KALAM. Dan di sanggar barudak inilah saya menemukan perpustakaan baca, studio radio serta cafĂ© yang lokasinya menyatu dengan warung-warung pedagang kaki lima. Di KALAM memang dalam salah satu agendannya adalah memfasilitasi tempat bagi keberadaan kaki lima di sepanjang Bangbarung Raya agar terlihat rapi bersih dan tentunya bebas dari Polisi Pamong Praja (Pol PP). Dalam pengamatan saya memang sepanjang Jl Bangbarung Raya kaki lima terlihat rapi dan nyaman. Bangunan saung bambu yang menggantikan tenda turut mempercantik keberadaan pedagang tersebut. Di lokasi terpisah, sekretariat KALAM sendiri terdapat ruang belajar dan bermain anak-anak, studio multimedia kecil-kecilan yang juga berfungsi sebagai kantor.

Apa yang saya saksikan di KALAM sesungguhnya juga terjadi di tempat-tempat lain. Ketika orang-orang muda mencoba kreatif untuk berbuat sesuatu bagi lingkungannya. Kondisi ekonomi dan berkembangnya kemajuan jaman yang terkadang tidak menyisakan ruang bagi mereka telah memunculkan semangat kemandirian tersendiri. Bagi saya yang patut dicatat dan kita berikan penghargaan atas kegiatan mereka adalah inisiatif untuk berkreasi dengan dana sendiri. Artinya tanpa bantuan ataupun binaan pemerintah. Mereka mampu membiayai kegiatan mereka sendiri, tak jarang dari proses kegiatan ini justru mampu memberikan kontribusi pendapatan bagi mereka. Inilah kelebihannya. Mungkin komunitas kreatif ini justru mampu memberikan jawaban positif atas apa yang sedang terjadi pada dunia anak muda saat ini. Bisa dibilang inilah pilihan alternatif selain Karang Taruna yang memang sudah jarang kita dengar popularitasnya. Secara formal Karang Taruna memang lebih diakui, namun sifat ketergantungan modal untuk kegiatan yang harus menunggu dana pemerintah, menjadikan Karang Taruna tidak memiliki jiwa survival yang tinggi. Bahkan kegiatannya pun cenderung stagnan, hanya yang mendapat restu dan memiliki feedback pada pemerintah saja. Bisa dibayangkan apa jawaban yang diberikan departemen terkait ketika Karang Taruna mengajukan seabrek proposal pembuatan film independen. Apakah ini sebuah gejala atau sekedar apriori terhadap ikatan formal, dimana komunitas anak muda ini tidak begitu memperhatikan pengakuan lembaga formal (pemerintah), bagi mereka dengan pengakuan masyarakat saja sudah cukup. Dan sepertinya inilah yang lebih penting.

Tanpa bermaksud menafikan atas apa yang akan dan telah dilakukan Karang Taruna, KALAM telah mengajarkan sesuatu yang berbeda. Totalitas anggotanya untuk bekerja di komunitas memberikan kesan tersendiri bagi saya. Berbuat sesuatu bagi kampung halamannya serta ikut bertanggung jawab atas pendidikan dan mental generasi berikutnya (anak-anak) adalah sesuatu yang mulia. Virus cita-cita yang coba mereka gulirkan pada akhirnya mampu membuat sebagian anggotanya kini memiliki orientasi. Namun untuk menjadi berarti seperti sekarang ini KALAM tidak begitu saja muncul melalui jalan mulus, banyak proses yang telah mereka lalui. Kepergian beberapa anggota akibat seleksi alam sempat menghentikan aktivitas mereka. Dan kini dengan semangat baru orang-orang muda ini berusaha meniti jalan mereka sendiri, yang menurutnya ‘semoga kali ini benar’. Seperti keyakinan yang mereka ucapkan sabtu malam itu.. Seperti biasa kunjungan saya untuk keempat kalinya ini adalah dalam rangka agenda budaya untuk menggalang dan mempertemukan seniman dan komunitas seni yang ada di Bogor. Dalam hal ini KALAM berpartisipasi sebagai fasilitator penggarapan Film Independen dan aksi art yang direncanakan di gelar 16 malam 17 agustus nanti. Dari diskusi dan obrolan santai selama ini telah menimbulakn kedekatan anatra personel KALAM dengan diri saya. Puncaknya adalah ketika KALAM mengadakan pengukuhan anggota baru yang mana secara tidak sengaja saya turut hadir bersama rekan seniman lainnya. Seperti yang lainnya, saat itu saya juga turut memberikan beberapa kata dan harapan untuk KALAM kedepan. Sebuah genggaman erat dan pelukan hangat menghampiri saya usai memberi sambutan kata malam itu. Bisikan dari Ridho sang presiden yang didekatkan pada pengeras suara memberi kejutan lain bagi saya. Sebuah penghargaan yang cukup berati bagi pengembara seperti saya.”Selamat, mulai malam ini anda adalah bagian dari anggota KALAM”.

1 comment:

tony's_strategi.blogspot.com said...

jadi itu sejarah ditemukan kata warteg itu ya?