Tuesday, October 03, 2006

Ta’zir; Budaya “Anarkis” di Kalangan Pesantren

Oleh: Siti Rofi'ah (Semarang)

Masih teringat jelas dalam ingatan ketika kepala-kepala itu dicukur dengan acak-acakan, setelah itu tubuh mereka basah kuyup dengan bau yang tidak sedap, ya mereka disiram air comberan. Tak cukup sampai disitu, mereka masih harus berdiri semalaman. “Ritual” itu harus mereka jalankan untuk “menebus” kesalahan yang mereka perbuat.

Tulisan diatas sedikit menggambarkan bagaimana para santri menjadi “korban” dari sebuah sistem, sebuah tradisi, yang sampai sekarang masih banyak terjadi di kalangan pondok pesantren. Tradisi itu adalah ta’zir.

Ta’zir adalah sebuah hukuman yang dijatuhkan pada santri yang melanggar aturan pondok pesantren. Ta’zir disini lebih diartikan sebagai bentuk hukuman yang berupa kekerasan fisik. Bentuknya bisa bermacam-macam tergantung kebijakan masing-masing pesantren. Entah bagaimana sejarahnya, budaya ini menjadi begitu membumi di kalangan pesantren.
Mengamati fenomena tersebut, ada satu kekhawatiran dalam benak saya jika kemudian tradisi itu akan terus berlanjut sampai sekarang. Sebuah institusi pendidikan, apalagi sebuah pesantren yang seharusnya mengajarkan nilai-nilai luhur pada masyarakat sudah tidak sepantasnya melakukan tindakan yang menurut saya lebih mengarah pada tindakan yang anarkis.

Yang menjadi persoalan adalah bagaimana mengubah tradisi tersebut menjadi satu hal yang lebih mendidik dan “humanis”, ini menyangkut dengan hukuman yang ditimpakan kepada mereka yang sudah tidak relevan lagi.

Selain hal diatas, kenapa masyarakat di lingkungan pesantren masih banyak yang menggunakan cara tersebut? Tradisi ta’zir bagi saya sama dengan budaya perpeloncoan saat memasuki tahun ajaran baru bagi siswa sekolah yang sekarang sudah mulai ditinggalkan. Perpeloncoan kemudian diganti dengan cara-cara yang lebih arif semisal olahraga, permaian dan sebagainya. Tampaknya masyarakat sudah bisa menilai bahwa bahwa cara-cara tradisional seperti perpeloncoan merupakan cara yang sudah tidak relevan lagi dan tidak mendidik.
Tapi hal itu tidak terjadi pada pondok pesantren. Adanya tradisi ta’zir yang sampai sekarang masih dilestarikan adalah satu bentuk-paling tidak menurut saya-budaya feodal yang sampai saat ini masih berjalan.

Walaupun tidak menutup kemungkinan sudah ada pesantren yang tidak menggunakan sistem tersebut, atau paling tidak sudah mengganti bentuk hukumannya dengan hukuman yang lebih mendidik, akan tetapi dari data yang ada pesantren yang menggunakan cara itu masih banyak.
Dari hasil pengamatan saya, dari 21 pesantren yang ada di Salatiga 17 diantaranya masih menggunakan cara ta’zir untuk menghukum santrinya. Ini menunjukkan bahwa cara tersebut masih sangat “diminati” dan dianggap sebagai cara yang ampuh serta efektif untuk mengatasi masalah pelanggaran yang dilakukan santri.

Landasan filosofis dari dibuatnya sebuah hukuman adalah untuk membuat pelaku pelanggaran jera dan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Disini Ta’zir sudah tidak mampu memenuhi hal itu. Bahkan dari informasi yang ada, para santri yang sudah pernah terkena ta’zir kebanyakan tidak menjadi jera bahkan malah menjadi semakin penasaran dan kebal dengan hukuman itu. Akhirnya tujuan hukuman itu sendiri tidak tercapai.

Untuk merubahnya, tentunya harus dimulai pada persoalan yang paling mendasar, yaitu bagaimana tokoh-tokoh pembuat kebijakan dalam pesantren (para pengurus yang juga termasuk santri, dan paling utama adalah Kyai sebagai tokoh sentral dalam sebuah pesantren) memahami esensi sebuah hukuman dan bagaimana efisiensinya terhadap obyek yang terkena hukuman, dalam hal ini adalah santri. Apakah cara-cara seperti ta’zir masih tepat dipertahankan, atau jangan-jangan hanya menjadi tradisi turun temurun yang sia-sia?
Mungkin zaman dahulu ta’zir sangat efektif diberlakukan dalam sebuah pesantren, sampai-sampai banyak pesantren di Indonesia menggunakan cara ta’zir sebagai bentuk hukuman. Akan tetapi dalam konteks sekarang, dengan setting sosial yang berbeda, tampaknya masyarakat di lingkungan pesantren harus mempertimbangkan ulang perihal ta’zir tersebut.
Persoalan seperti apa metode yang tepat untuk hukuman tergantung dari keadaan. Yang jelas menurut saya, hukuman dijatuhkan bukan hanya sebagai cara agar membuat kapok bagi pelanggar, akan tetapi lebih pada pembelajaran agar pelanggar tahu arti kesalahan yang dia perbuat dan mempunyai kesadaran agar tidak mengulanginya.

Cara ini akan lebih indah dan menyentuh ketimbang cara-cara kasar yang hanya menjadikan fisik sebagai sasarannya.

2 comments:

Zaqi said...

Pernahkan Anda belajar di pesantren? interpretasi Anda tentang ta'zir masih kurang luas. Bahwa ta'zir memang sebuah hukuman akan tetapi bukan sekedar hukuman fisik. Hukuman fisik dijalankan jika hukuman yang bersifat psikologis tidak mempan lagi. Dimana memang tujuan ta'zir adalah mengapokkan agar tidak mengulangi kesalahannya. Dulu sewaktu saya di pesantren bahwa hukum ta'zir dilaksanakan mulai dari tugas membersihkan WC, menguras bak mandi, menyapu halaman, membaca qur'an beberapa juz, dan lain-lain. Dimana dengan hukuman ini secara psikologis tidak akan mengulangi pelanggarannya. Nah jika dengan cara ini tidak mempan maka hukuman berlanjut secara fisik, misal dipampang di jalan dengan tulisan atau digundul. Sebenarnya hukuman terberat di pesantren adalah dikeluarkan. Ini bisa terjadi santri melakukan tindakan yang memang tidak bisa ditolerir lagi. Salam, Zaqi

indah said...

setuju saya.. melihat anda bicara ta'zir which that is Hudud ALLAH seperti sangat sempit sekali.. banyak-banyakah membaca Al-Quran untuk mengerti dan berbicara hal-hal yang berkenaan dengan Hukum2 Syar'i. tapi saya tidak heran, pada umumnya orang yang bergelut dengan sosial kadang lupa diri dengan essensi dari hukum yang langsung ditetepkan oleh Tuhan Sang Pencipta yakni ALLAH swt. watch out! kalo perlu anda baca mengenai hal itu dihttp://www.sunniforum.com/forum/showthread.php?t=6205 mungkin sedikit banyaknya dapat memberi anda a lil more perspective about it.