Tuesday, October 03, 2006

Sisi Gelap Universitas: Lunturnya Penggunaan Bahasa Daerah sebagai Social Cost Adanya Universitas

Oleh: Firdaus Putra Aditama, Purwokerto

“Dialek Banyumasan kini mulai ditinggalkan,

sebagian masyarakat merasa malu mempergunakannya.”
[Soemarno, Wartawan RRI]

I

Purwokerto, adalah salah satu kota tujuan bagi pelajar-pelajar paska kelulusan SMA untuk meneruskan pendidikannya. Purwokerto juga terlihat sebagai jantung dari Banyumas itu sendiri. Kota administratif di mana seluruh kegiatan organisasional, pemerintahan berjalan. Tidak heran jika fasilitas yang ada cukup terjamin. Mulai dari SD favorit sampai SMA favorit berada di wilayah ini. Pun sebaran perguruan tinggi, sekolah tinggi, akademi keahlian dan semacamnya yang tidak terlalu jauh satu dengan lainnya.

Paling tidak di kota yang terkenal dengan kenthongan-nya ini dapat kita lihat sederatan nama universitas, yang paling besar adalah Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED), Universitas Wijaya Kusuma (UNWIKU), STAIN Purwokerto, Universitas Muhammadiyyah Purwokerto (UMP), STT Wiwaratama, dan sederer Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) yang bergerak pada ranah bahasa, komputer atau pun soft skill lainnya. Yang jelas, jumlah lembaga pendidikan baik formal maupun non formal di kota kecil ini relatif banyak.

Lalu, tulisan ini sendiri mengambil engel di seputar lingkungan UNSOED di mana saya include di dalamnya. Paling tidak potretan realitas ini sedikit-banyak adalah potretan yang sehari-hari saya jumpai; ketika kuliah, ketika nongkrong, ketika bergelut dengan keluarga ibu kos, ketika mencari nasi rames, ketika jalan di sepanjang Jalan Kampus dan seterusnya. Meskipun apa yang saya sampaikan sepenuhya subyektif, tetapi, paling tidak potretan semacam ini juga pernah singgah di pembicaraan santai satu orang dengan yang lainnya [intersubyektif].

II

Memberi judul “Sisi Gelap Universitas” tentunya saya tidak sedang mengekor Rita Abrahamsen dengan “Sisi Gelap Pembangunan”nya. Hanya saja, saya rasa judul tersebut cukup menggambarkan apa-apa yang akan saya sampaikan. Pertama, bahwa setiap perubahan pasti akan memiliki sisi degresifnya yang kurang produktif bagi masyarakat. Namun, perubahan sosial juga tidak harus selalu dipandang dengan nada minor, sisi degresif dari perubahan menjadi wajar ketika kita melihatnya sebagi bentuk social cost yang harus dikeluarkan untuk membeli satu atau banyak blue print.

Dalam konteks ini, adanya universitas (UNSOED) yang berdiri pada 1962, sedikit-banyak juga mempunyai sisi gelapnya yang kadang tak terasakan. Pada titik kebudayaan, kita bisa mengambil satu kasus, misalnya penggunaan bahasa daerah (Banyumas) yang semakin luntur karena terpaan budaya warga pendatang. Dalam keseharian, khususnya di seputar lingkungan kampus, warga setempat sedikit-banyak sudah menggunakan bahas nasional atau bahasa Indonesia. Tentu saja hal ini dapat dipahami karena dalam keseharian mereka bergelut dengan warga pendatang. Agar tidak terjadi roaming bahasa, maka bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar yang tepat untuk keseharian.

Hal di atas tentunya tidak akan terlalu bermasalah ketika terjadi pada interaksi antara pendatang dengan pribumi. Akan tetapi, penggunaan bahasa Indonesia lambat-laun ternyata meluas pada interaksi pribumi dengan pribumi. Bahkan antara anak dengan orang tua pribumi sekalipun (keluarga). Hal ini senada dengan apa yang ditulis Soemarno, “Anak-anak sudah dididik memakai bahasa Indonesia sejak kecil. Padahal, seharusnya bahasa ibu (Banyumasan) tetap penting untuk diajarkan”. Artinya, benturan dua kebudayaan ini berjalan secara a-simetris. Karena sedikit dari warga pendatang yang mampu berbahasa Banyumasan.
Sedangkan banyak dari warga pribmi yang mampu menggunakan bahasa Indonesia, meskipun masih dengan dialek khas Banyumasnya.

Benturan yang a-simetris ini pada gilirannya akan melahirkan homogenisasi kebudayaan, di mana kebudayaan pribumi lantas tidak mampu melakukan tawar-menawar dengan kebudayaan pendatang. Selain karena adanya universitas yang berimplikasi pada banyaknya warga pendatang memasuki kawasan Purwokerto dan umumnya Banyumas, sektor pariwisata yang ada di Banyumas sedikit-banyak juga berpengaruh, kawasan pariwisata Baturraden. Akan tetapi, kalau boleh saya berpendapat, gerak material yang cepat di Purwokero pun Banyumas lebih disebabkan oleh adanya banyaknya universitas. Kita dapat umpakan bahwa pelajar, mahasiswa dan sebagainya adalah ‘sapi perah’ yang tidak menghasilkan apa-apa [secara ekonomis], bahkan justru mereka sumber susu yang setap hari diperah oleh warga pribumi; makan sehari-hari, kos, toko, warung, konter hp, rental dll.

Penggunaan bahasa daerah yang mengalami penurunan ini terbukti pada pemilihan Kakang-Mbekayu Banyumas, rata-rata peserta yang nota-benenya penduduk asli kurang mampu menggunakan bahasa ibu mereka. Seperti apa yang dicatat oleh Kedaulatan-Rakyat, Sebagian besar muda-mudi usia SMA-Mahasiswa Kabupaten Banyumas rata-rata kurang memahami dan menghargai hasil seni-budaya Banyumasan. Hal itu terbukti ketika 30 peserta Pemilihan Kakang Mbekayu Fatmaba Ajibarang, Banyumas tak satupun yang memenuhi syarat lancar berbahasa Jawa Banyumasan. Bahkan mereka juga kurang tahu tentang jenis kesenian/budaya Banyumasan, seperti seni ronggeng, calung, atau begalan. Anak-anak muda Banyumas sekarang ini ternyata telah masuk dalam format ‘gegar budaya’. Artinya, mereka lebih gandrung dan patuh pada budaya manca seperti rambut disemir pirang, nonton CD film barat, main musik trend barat ketimbang belajar bermain musik tradisi Banyumasan seperti calung, maupun tembang-tembang Banyumasan. Berbahasa mereka juga lebih suka menggunakan Bahasa Indonesia dialek Jakarta.

Pertanyaan mendasar tang relevan untuk diajukan, mengapa hal tersebut terjadi? Tentunya kita akan sepakat bahwa media sangat berperan penting, tetapi jika Anda berada di kawasan Purwokerto sendiri, Anda akan mengetahui bahwa hal tersebut tidak deterministik media. Pembauran antara warga pendatang dengan pribumi justru akan lebih kentara sebagai faktor yang dominan. Bisa kita lihat, banyak dari media yang ada di Purwokerto atau Banyumas itu sendiri telah ‘dikuasai’ oleh warga pendatang. Konkritnya, di radio-radio, banyak penyiar yang bukan warga pribumi, karena dialek Bnayumas yang ngapak dianggap kurang marketable. Ketika banyak penyiar radio yang menggunakan simbol-simbol budaya populer, maka audien dengan sendirinya sedikit-banyak akan mengimitasinya. Proses imitasi ini dipercepat dengan rongrongan media lain, majalah, internet dan semacamnya.

Purwokerto sendiri menurut saya dalam tempo 10-15 tahun mendatang tidak akan beda jauh dengan kota besar lainnya, misal saja Semarang. Berapa persenkah budaya asli Semarang tersisa? Sedikit. Demikian pula dengan Purwokerto dengan adanya banyak universitas, artinya akses mobilitas penduduk dari luar kota ke kota Purwokerto semakin cepat. Selain dari penggunaan bahasa ini, kita juga dapat melihat pergaulan muda-mudinya. Dengan adanya kos-kosan, pergaulan muda-mudi warga pribumi juga menjadi berubah. Masyarakat menjadi permisif dengan pergaulan bebas a la mahasiswa, dan akhirnya muda-mudi pribumi pun demikian.

Dulu, ketika saya baru satu tahun di Purwoketo, saya sempat memuji kota tersebut sebagai kota yang resistensinya cukup tinggi terhadap serangan global. Akan tetapi, nampaknya saya harus merubah penilaian, karena Purwokerto ternyata sama saja dengan kota-kota lainnya. Bukan berarti Purwokerto ‘kalah’ berhadapan dengan ‘gegar budaya’ global, akan tetapi ‘musuh’ kota kecil ini terlalu besar. Jadi, pantas jika Purwokerto KO. Berjalan-jalan ke Purwokerto tidak akan berbeda jauh dengan ke Semarang atau Yogyakarta; hotel, restoran, diskotik, bilyard, lokalisasi, supermarket, fast food, cafe-cafe dan seterusnya, semuanya ada.

III

Tanpa bermaksud bernostalgia, menurut saya Purwokerto tidak akan menjadi seperti yang sekarang ini mana kala di tahun 1962 UNSOED tidak dibangun. Artinya, munculnya universitas besar di suatu kota adalah sebuah berkah, namun pada sisi yang lain musibah bagi kebudayaan setempat. Hal ini tentunya sekali lagi tidak perlu kita pandang secara pesimis, melainkan bagaimana kita tetap mengoptimiskan budaya daerah sebagai local wisdom yang harus dilestarikan.

Saat ini mungkin penggunaan bahasa Indonesia masih bercampur dengan bahasa daerah, namun ketika generasi tua sebagai ‘cagar budaya’ sudah tiada, tidak mustahil 10-15 tahun orang Banyumas tidak bisa berbahasa Banyumas.

Selanjutnya bagaimana peran universitas dalam mengembalikan local wisdom yang tersisih itu? Saat ini UNSOED sendiri, sekali lagi menunjuk UNSOED karena UNSOED adalah perguruan terbesar di Purwokerto, membuka program studi bahasa dan sastra. Hanya saja, orientasi pasar yang ada, menurut saya yang menyebabkan bahasa dan sastra Banyumas tidak dibuka sebagai pilihan studi. Padahal, jika kita ingat, jejak-jejak budaya Banyumas cukup tinggi; legenda Kamandaka, ronggeng, dan sebagainya adalah jejak budaya yang membentuk Banyumas itu sendiri.

Studi budaya lokal, baik secara per program studi atau include dalam program studi lain seharusnya di adakan dalam kurikulum pendidikan. UNSOED (baca: universitas) seharusnya bertanggungjawab atas matinya kebudayaan lokal. Ketika modernitas menggerus tradisionalitas dengan rasionalismenya, maka penggugatan atas modernitas patut dilakukan. Artinya, ketika universitas sebagai simbol dari modernitas telah menggerus tradisi daerah, maka universitas pun patut digugat. Memang, apa yang terjadi tidak lah secara langsung bermuara pada universitas, akan tetapi efek domino yang ada menunjukan universitas ternyata juga menyumbang ke arah degradasi kebudayaan. Jika universitas masih mengimami Tri Darma Perguruan Tinggi, maka pengembalian budaya daerah atau lokal yang telah terkontaminasi budaya lain adalah salah satu tanggungjawab sosial yang harus diemban.[

No comments: