Tuesday, October 03, 2006

Tukang Esek-Esek

Oleh: Fuad Hasyim, Jepara

Jepara kota ukir yang sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian adalah berkayu. Yang mana bidang usahanya adalah bergerak pengolahan kayu. Menurut sejarah kuno bahwa masyarakat jepara mempunyai spesialisasi keahlian di bidang ukir kayu. Dan konon sepsialisasi ini sudah mendarah daging kepada masyarakat Jepara. Sengga keahlian mengukir ini adalah merupakan bakat alam yang sudah dimiliki oleh masyarakat jepara pada umumnya.

Akan tetapi seiring dalam perjalanan masa keahlian mengukir mengalami perkembangan-perkembangan. Sampai pada akhir-akhir abad ke 20 masyarakat jepara dapat menguasai kemampuan mengukir patung. Bagitu juga dalam aspek industri Jepara sudah mulai dirambah oleh meuble karena tuntutan untuk memenuhi pasar bebas dunia permebelan.

Diantara beberapa kategori produk Jepara adalah berupa meuble, pernak-pernik souvernir, relief, furniture dan lain sebagainya. Menurut data yang pernah saya dengar dari ketua HPKJ (Himpunan Pengusaha Kayu Jati) Haji Anas, dia mengatakan bahwa prosentase perekonomian orang jepara banyak didominasi oleh para bekerja dibidang usaha kayu. Dengan jumlah sebesar 60%. Adapun pengelompokan dari para pekerja yang bergerak dibidang perkayuan adalah sebagai berikut.:
Yang pertama mereka yang bergerak di bidang bahan baku. Yaitu yang berupa bahan dasar kayu yang berbentuk masih glondongan atau dapat pula disebut balok. Balok atau glondongan bisa berasal dari perusahaan resmi negara (PERHUTANI atau dengan bahasa lain TPK). Bisa pula berasal dari simpan pribadi kayu masyarakat yang mempunyai kebun kayu. Bahan kayu itu sendiri bermacam-mcam jenisnya, ada kayu jati, kayu mahoni, kayu suren, kayu sono, dan masih banyak jenis kayu lainnya yang dapat dijadikan kayu alternative untuk bahan baku meuble.

Yang kedua adalah para pengrajin dan para pengusaha. Pengrajin meuble atau ukir adalah orang yang bergerak diwilayah produksi. Mereka mengolah bahan baku menjadi barang jadi atau setangah jadi. Dan yang ada pada umumnya para pengrajin ini belum tentu memasarkan langsung kepada para konsumen pemakai meuble atau pemakai barang kerajian ukir. Yang berarti mereka adalah pelaku produksi yang bergerak murni dibidang produksii furniture.
Yang ketiga adalah para pekerja (buruh). Diwilayah pengelompokan ini para pekerja atau buruh ini kami kelompokan kedalam dua kelompok, dari proses produksi yaitu yang pertama adalah para pengrajin atau pembuat meuble, juga para pemahat ukiran dan relief yang mengolah bahan baku dari yang masih glondongan yang kemudian diolah dan potong-potong sedemikan rupa sehingga menjadi produk jadi atau produk yang masih setengah jadi. Produk itu bisa berupa wujud kursi, meja, lemari dan lain sebagainya. Barang yang sudah jadi ini sebagian ada yang masih membutuhkan sentuhan-sentuhan akhir dan juga barang kali juga tidak membutuhkan sentuhan lagi karena mungkin yang dimaksudkan adalah barang yang natural memang mentah tanpa finishing tanpa memerlukan sentuhan lagi. Yang kedua adalah orang-orang yang dalam hal ini bergrak dibidang finishing atau dalam tahap penyelesaian produk meuble itu sendiri mulai dari tahap penghalusan atau pengamplasan tahap pewarnaan dan tahap pengkilapan atau pemlituran dengan sirlak, barangkali yang agak lebih mahal dan tahan lama bisa dengan menggunakan jenis melamin yang berfungsi untuk melindungi sekaligus mengkilapkan produk.

Tukang esek-esek

Namun dalam hal ini saya akan banyak lebih menekankan untuk memaparkan akan persoalan orang-orang atau para pekerja yang bergerak dibidang pengamplasan. Khususnya dalam aktifitasnya sehari-hari dan suka duka yang mereka alami dalam menjalankan profesi mereka sehari-hari sebagai tukang ngamplas atau lebih terkenal dilingkungan orang jepara sebutan tukang esek-esek. Karena yang banyak berprofesi sebagai tukang ngamplas adalah perempuan. Karena menurut perkataan orang Jepara pekerjaan yang paing mudah esek-esek atau ngamplas. Pekerjaan ini tidak banyak membutuhkan skill dan teknik yang njlimet cukup untuk menggerakkan tangan yang dilapisi oleh amplas kemudian digosokkan maka jalanlah pekerjaan ngamplas. Dari sinilah menurut saya yang layak sekaligus menarik untuk dikaji dan ditelusuri. Lha kenapa tidak…?

Karena menurut kami lika-liku yang dialami oleh oleh para tukang ngamplas sebagai pekerja yang berhak untuk mendapatkan perlakuan yang layak, sepadan sering kali mendapatkan hambatan-hambatan. Dan tentu saja hambatan itu bukan atas perlakuan yang ditimbulkan oleh polah dan laku para tukang ngamplas itu sendiri akan tetapi memang perlakuan itu di sebabkan oleh orang-orang yang dekat dengan relasi kerja dia. Dalam ini kami mengklompokkan kedalam beberapa pelaku atau aktor. Yang pertama adalah kelompok pengusaha atau para bos-bos meuble, yang kedua adalah para pelaku kebijakan di wilayah public dalam hal ini diwakili oleh pemerintah jepara serta yang ketiga lingkungan kerja tempat mereka bekerja mencari nafkah sehari-hari.

Bermula dari latar belakang para tukang ngamplas itu sendiri. Kebanyakan mereka adalah perempuan yang rata-rata pendidikan adalah minim dan tidak mempunyai skill tertentu. Dan kebanyakan mereka berasal dari kalangan pinggiran atau ndeso. Pada umumnya mereka hanya berpendidikan sederajat SMA atau bayak juga yang hanya lulusan SD. Adapun tempat mereka tinggal banyak sekali yang berasal dari daerah pinggiran, yang agak jauh mlosok untuk menuju ke daerah perkotaan.

Adapun lokasi untuk mereka bekerja adalah di gudang-gudang yang ada di kota atau yang dekat dengan kota. Sebagian gudang-gudang ada juga yang berada di daerah pedesaan. Karena memang lahan yang ada di perkotaan Jepara sudah mulai mahal dan langka, sehingga perlu perluasan atau relokasi di daerah pinggiran atau desa.dan rata-rata gudang yang ada di daerah pingiran banyak dimiliki oleh penguasaha yang berdosimili di perkotaan.

Di wilayah pengepulan barang yaitu gudang atau tempat barang-barang meuble ditransitkan yang kemudian menjalani proses finishing. Tukang ngamplas tidak terlalu mendapatkan standar pelayanan ataupun kelayakan dalam bekerja. Termasuk juga didalamnya adalah keamanan dalam bekerja. Misalnya bahwa pekerjaan esek-esek adalah pekerjaan yang kotor sangat penuh dengan debu ampas gosokan kayu. Yang mungkin akan sangat berpengaruh terhadap kenyamanan, kesehatan para tukang ngamplas namun hal ini tidak dihiraukan oleh para pengusaha atau pengepul. Barangkali kalo ini berlaku dalam pengepul atau pengusaha kayu skala kecil yang paling-paling hanya membutuhkan tukang ngamplas satu atau dua mungkin tidak menjadi masalah. Yang menjadi masalah adalah ketika itu terjadi dalam gudang besar yang menampung tukang ngamplas puluhan bahkan ratusan tukang ngamplas maka ini merupakan masalah yang besar yang perlu mendapatkan perhatian oleh para pemilik gudang.
Belum lagi dalam persoalan batas-batas laki-laki dan perempuan ketika pihak pengusaha atau pengepul barang yang memfinising tadi juga mempunyai buruh ngamplas laki-laki. Mereka para pengusaha atau pemilik gudang tidak memperhatikan persoalan pembedaan dalam hal MCK atau tempat peristirahatan menurut saya sangat memperihatinkan. Atau mungkin persoalan akan kebutuhan batas dan sekat tempat peristirahatan atau tampat ganti telesan juga tempat leleh bagi buruh perempuan dan buruh laki-laki dalam sebuah gudang. Sehingga dalam sehariannya kebutuhan akan ganti dan MCK para buruh bercampur aduk antara laki dan perempuan. Sehingga dari sini sedikit demi sedikit terjadi kelunturan norma-norma kesusilaan masyarakat jepara khususnya pada segment tukang ngamplas tertentu. Berulang kali perlakuan yang tidak senonoh terjadi di lingkungan gudang namun tetap saja tidak perhatian.

Pelecehan-pelecehan yang masih dan rutin berlaku diwilayah pergudangan menjadi hal biasa. Mungkin ini juga karena para tukang ngamplas itu sendiri memang mengiyakan atau permisif dan beberap para pekerja malah mencari-cari kesempatan disela-sela peristirahatan kerja. Mereka sama sekali tidak merasakan ada sesuatu hal yang tabu atau risi ketika perlakuan-perlakuan kayak begini harus terus berlaku diwilayah pergudangan. Malah-malah mereka menganggapnya hal yang lumrah ini menjadi sebuah kewajaran atau hal yang biasa saja. Dan mereka menganggapnya tidak perlu untuk ditanggapi atau sampai malah di kritisi, atau mungkin didemokan kepada pemilik gudang untuk di tata-ulang bentuk bengkelnya agar pemilik gudang memberi perhatian dengan memberi sekat sebagai kebutuhan privasi pekerja esek-esek .

Bagi masyarakat sekitar permasalahan ini menjadikan kegerahan dan manimbulkan rasa risi. Apalagi norma-norma yang dianut dan berlaku dalam masyarakat masih kental. Dan sebenarnya memang kota Jepara sendiri menurut saya masih dalam kategori kota santri sebagaimana kota-kota disekitar pesisir utara karisidenan Pati yang banyak masyarakatanya berpendidikan pesantren. Saya sendiri sebagai orang jepara juga merasakan risi ketika mendengar cerita-cerita tentang kisah para tukang esek-esek yang bercampur-bawur antara laki-laki dengan perempuan. Apalagi perlakuan kayak gitu jelas kontras dengan adat ketimuran atau adat jawa pada khususnya.

Contoh-contoh seperti diatas menjadi fenomena yang menarik ketika masyarakat Jepara yang dulunya terkenal sangat menjujung tinggi norma-norma sosial-agama menjadi drastis berubah karena gencarnya serangan ekonomi melalui industri permebelan. Dalam benak saya apakah perubahan kota menjadi kota industri harus diiringi dengan perubahan budaya lokal yang menurut saya sangat tidak perlu. Atau mungkin hanya masyarakat pelaku industri yaitu pemilik gudang beserta para tukang ngamplasnya tidak siap menerima efek-efek dari perubahan masyarakat menuju masyarakat industri.

Bagi masyarakat jepara pekerjaan esek-esek adalah pekerjaan yang dianggap pekerjaan malas. Karena masyarakat jepara ngamplas identik dengan kerjaan orang malas, orang ndak punya skill, orang kepentok kreatifitasnya atau parahnya lagi orang yang kepentok akan persoalan hidup. Apalagi realitas ekonomi dijepara banyak orang Jepara mengatakan cari kerjaan lagi sulit, susah cari kerjaan yang selain ngamplas dan lain sebagainya. Walaupun kerjaan ngamplas adalah kerjaan yang kotor, mereka menerima karena tidak ada pilihan lain selain esek-esek kayu. Bagi pemula kerjaan ngamplas bergajikan Rp 7500. Bilamana sudah agak lama bekerja maka gaji mereka dapat naik menjadi sampai Rp 12500 itu saja mereka sudah bertahun tahun bekerja ngamplas. Dan memang realitas kehidupan mereka sehari jelas saja bukan orang yang yang berstatus ekonomi menengah.

Dan menurut kebanyakan orang jepara dengan masa sekarang, gaji 7500 sangatlah tidak layak untuk dijalani pekerjaan ngamplas. Apalagi pernah ada kejadian keti para buruh ngamplas yang lumayan jauh tempat kerjanya karena tempat tinggal mereka berada dilereng muria dekat dengat kudus dan mereka harus datang saban hari kedaerah perkotaan jepara. Mereka saban harinya datang ketempat kerja dengan mnggunakan angkutan berplat hitam milik masyarakat sekitar karena jalur angkutan dari tempat tinggal mereka kearah tempat kerja tidak ada angkutan resmi plat kuning. Dan mereka naik angkutan plat hitam langsung dihantarkan ketempat kerja. Sehingga angkutan plat kuning merasa konsumen angkutannya diambil oleh orang plat hitam yang seharusnya mereka tidak boleh untuk ngompreng.
Akhirnya plat kuning demo kepada dinas perhubungan dan ke DPRD Jepara dan itu respon baik oleh keduanya. Akhirnya dari pihak para tukang ngamplas tidak terima sehingga juga mengadakan perlawanan serta mengadu kepada Dishub dan DPRD. Karena mereka berhitung bahwa gaji Rp 7500 harus digunakan untuk membayar angkutan dua kali pulang dan pergi, sehingga menjadi empat kali pindah-pindah angkutan yang artinya pengamplas harus membayar 1500x4=Rp 6000 kemudian gaji mereka Rp 7500-6000 = Rp 1500 sehingga gaji Rp 1500 menjadi gaji bersih. Kalo dihitung-hitung kebutuhan sehari umumnya masyarakat bawah dengan gaji sebegitu kecil sangat tidak mungkin. Akhirnya para tukang ngamplas dalam dunia peresek-esekannya telah mendapatkan banyak cerita kehidupan mulai dari persoalan sosial, ekonomi, politik dan budaya sampai esek-esek.

No comments: