Tuesday, October 03, 2006

Dari Survivor Menjadi Motivator

Oleh: Ellya Ch. (Magelang)

Tulisan ini dibuat untuk memberikan gambaraan bagaimana perempuan yang karena berbagai sebab, hidup dengan berbagai macam tekanan dan tantanga dan terus berjuang untuk melanjutkan hidup untuk dirinya sendiri dan anak-anaknya.


Deskripsi singkat survivor
Perempuan ini bernama Iyem (bukan nama sebenarnya). Latar belakang kehidupannya bukan dari golongan miskin, tapi sudah berada di bawah garis kemiskinan. Mempunyai tanggungan 2 anak perempuan yang keduanya sudah masuk SMP. Punya latar belakang kehidupan perkawinan yang buruk. Suaminya meninggalkannya sejak anak-anaknya masih kecil. Sampai saat ini Bu Iyem belum bercerai. Tapi suaminya sudah punya 2 anak lagi dari hasil hubungannya dengan perempuan lain. Suaminya tidak mau menceraikannya dengan alasan tidak mempunyai uang untuk membayar sidang perceraian. Selama 10 tahun ditinggal suaminya, dia nrimo saja dengan keadan tersebut. Seluruh kebutuhan hidup sehari-hari dan sekolah anak-anknya menjadi tanggung jawabnya. Sekolah yang dimintai bantuan untuk memberikan bantuan keringnan biaya sekolah tidak mau memberikan dengan alasan tidak ada anggaran yang tersedia. Pekerjaan yang sekarang ini dilakukan adalah mencari pasir di sungai dekat rumahnya dan menjadi buruh tani, kadang-kadang. Sekali waktu dia juga pernah menjadi PRT. Pendidikan yang ditempuhnya tidak selesai SD. Dan deskripsi ini akan menjadi pintu masuk untuk melihat apa saja persoalan yang dihadapi oleh perempuan.

Psikologis survivor
Dalam suatu kesempatan dia diminta untuk membantu menjadi PRT di rumah seorang bidan. Walaupun interaksinya tidak terlalu lama, namun itu menjadi awal bagi beberapa perubahan dalam dirinya. Dari interaksi yang dilakukan dengan majikannya itu kemudian dia sampai pada titik untuk menceritakan kisah hidupnya. Tentang kehidupan perkawinannya yang buruk. Dari cerita itu kemudian sang majikan menyuruhnya untuk datang ke kantor –yang katanya bisa menyelesaikan masalah-masalah rumah tangga-di dekat rumah tersebut. Sebagai informasi rumah antara majikan dengan kantor penulis hanya sekitar 100 meter. Dan setiap kali pulang dari tempatnya bekerja pastilah kantor tersebut dilewatinya. Sehingga tidak sulit baginya untuk datang ke tempat tersebut. Tinggal jalan sebentar, menyebrang dan sampai. Mudah dan tidak perlu mengeluarkan biaya. Setiap kali pulang tempaat itu pasti dilewati.
Dari apa yang disampaikan sang majikan itu, pada akhirnya dia memutuskan untuk benar-benar datang ke “rumah” tersebut. Keterdesakan ekonomi, tekanan dari lingkungan, situasi perkawinan yang tidak jelas, anak-anak yang semakin besar menjadi alasan kenapa kemudian Bu Iyem datang ke kantor tersebut.

Ketika pertama kali datang ke tempat kami Bu Iyem melepas sandalnya, yang bagi kantor kami yang biasa-biasa saja sebetulnya itu tidak perlu dilakukan. Ketika berkalikali kami katakan bahwa sandalnya dipakai saja, karena kami semua juga memakainya, dia tetap menolaknya. Dan itu terjadi sampai beberapa kali ketika datang. Sebenarnya kebiasaan melepaskan sandal ketika mengunjungi rumah tertentu memang sering dilakukan. Namun itu dilakukan ketika rumah tersebut memang “layak” dan tuan rumah memberikan contoh serupa. Namun disini kelihatan bahwa dia mempuanyai hambatan psikologis dan ada perasaan takut kalo itu akan menyinggung tuan rumah.

Belum lagi ketika dia ditanya tentang masalah yang dihadapinya, dia hanya menjawab sedikit-sedikit sambil terus menerus menunduk. Bahasa tubuhnya menunjukkan bahwa dia tidak nyaman dan minder dengan keadaan yang dimilikinya. Sikap minder sangat terasa ketika dia juga menceritakan pengalaman-pengalamannya.

Ada pandangan dalam masyarakat yang melihaat bahwa ketika terjadi kasus KDRT maka sumber kesalahan daari kasus tersebut adalah perempuan. Mereka dianggap tidak becus mengurus dan melayani suami dan ini menjadi aib bagi mereka. Sehingga perempuan yang mengalami kasus semacam ini menjaadi minder untuk mengutarakan persoalan yang dihadapinya. Mereka takut jika mendapat stigma tersebut. Ada perasaan tidak enak ketika dia menceritakan kasus yang dialaminya. Dia merasa tidak enak karena harus menceritakan masalahnya kepada orang lain. Padahal yang dipercayainya selama ini adalah tidak baik jika harus menceritakan masalah rumah tangganya kepada orang lain.

Bu Iyem datang ke tempat kami setelah dia mengalami kekerasan selama 10 tahun. Dalam diamnya dia nrimo saja dengan keadaan yang dialaminya. Dia tidak berani untuk melakukan perlawanan terhadap suaminya. Ada belenggu budaya yang melingkupinya.

Persoalan Ekonomi
Bu Iyem tinggal di sebuah dusun di dekat aliran sunggai. Sungai tersebut merupakan salah satu dari sekian sungai yang berhulu di gunung merapi. Sehingga dari sungai tersebut tersedia banyak pasir yang terbawa arus dari gunung. Rumahnya tidak terlalu jauh dari sungai tersebut. Sekitar 500m. Tidak terlalu jauh. Tapi menjadi dia harus berjalan bolak-balik dengan membawa beban pasir di punggungnya. Jika dalam sehari bu Iyem berhasil membawa 4 tenggok (tempat dari bambu yang biasa digunakan oleh penjual jamu gendong) itu berarti dia harus berjalan sejauh 4 km dengan beban dipunggung minimal 25 Kg tiap gendongan.
Rumahnya terdiri dari 2 bagian, setengahnya terdiri dari bangunan semen, dan setengahnya terbuat dari gedek (anyaman bambu). Lantainya di semen kasar dan ketika masuk kerumahnya ada seperangkat perabot rumahtangga sederhana dari kayu. Tidak bisa dijual. Bagian lantai depan rumahnya dipenuhi dengan kotoran ayam. Sisi yang lain dari halaman depan rumahnya akan tampak setumpuk pasir.

Ketika kemudian dia ditinggal oleh suaminya dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Yang dia tahu dia mempunyai tanggungan 2 anak yang harus dibesarkannya. Tanpa modal pendidikan yang cukup dan tanpa ketrampilan yang bisa menghasilkan uang. Kemiskinan telah menjauhkan dia untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan kehilangan akses untuk mempelajari segala yang ada diluar sana. Tuntutan untuk tetap bisa hidup membuaat dia tidak boleh menyerah pada kemiskinaannya dan nrimo dengan keaadaan itu.

Dengan segala keterbatasan itu dia mencoba bertahan hidup. Satu-satunya yang tesedia bagi dia adalah kekayaan alam yang melimpah dan lahan pertanian milik tetangga. Itu saja yang dimiliki. Karena Negara tidak memberikan kepadanya fasilitas untuk bertahan hidup maka dia mengambil apa yang telah disediakan oleh alam yaitu pasir. Setiap hari dia menggali pasir di sungai dekat rumahnya dan menunggu pengepul yang akan mengambilnya. Penghasilan rata-rata sehari dari pasir berkisar Rp 5000,- sampai Rp 10.000,- dan harus cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Selain menjadi penggali pasir kadang kala juga menjadi buruh tani apa saja tergantung musimnya. Pada musim tembakau, dia akan menjadi buruh tembakau. Tugasnya adalah memilah-milah beberapa jenis daun tembakau dan membeda-bedakannya sesuai dengan kualitasnya. Di lain waktu dia menjadi buruh tandur atau ani-ai ketika musim panen tiba. Dengan segala cara Bu iyem berusaha untuk terus bertahan hidup.

System ekonomi kapitalis yang melihat bahwa yang “laku” di pasar adalah mereka punya pendidikan dan ketrampilan menyebabkan dia semakin tersingkir. Padahal dia tidak mempunyai skill yang “laku” dijual. Dalam persaingan tersebut Bu Iyem sudah tereliminasi sejak awal dan hanya lolos masuk menajadi buruh karena sawah tidak dimiliki. Modal juga tidak dimiliki.

Terbangunnya sebuah kesadaran
Beberapa bulan sejak kedatangannya di kantor tersebut, setiap dua minggu sekali, dengan berjalan kaki dari rumahnya, Bu Iyem datang untuk ikut berkumpul dengan teman-temannya yang juga menjadi korban kekerasan. Pertemuan dilakukan di halaman belakang kantor penulis. Terdiri dari 7-9 orang survivor yang terlibat. Dalam tiap sesi pertemuan diisi dengan kegiatan berbagi dengan sesama korban kekerasan dan saling menguatkan. Selain itu juga dilakukan berbagai kegiatan yang berbeda-beda pada setiap sesinya.

Ketika pertama kali dilakukan pertemuan masih sangat jelas bagaimana dia hanya diam saja sepanjang kegiatan berlangsung. Ketika ditanya apa pendapatnya terhadap sesi yang ada kata-kata yang keluar hanyalah “kulo mboten mudeng mbak”(saya tidak mengerti) atau hanya dengan anggukan dan gelengan. Dalam pertemuan itu ada sesi praktek pernafasan dan dengan disertai dengan pengeluaran bunyi huruf vokal. Praktek pernafasan itu dilakukan oleh semua peserta. Tapi pada saat giliraan Bu Iyem melaakukan praktek dia tidak mau. Ketika didesak untuk melakukannya oleh teman-teman dalam kelompok, akhirnya dia mau melakukan. Tapi pas akan melakukan tidak ada suara yang terdengar. Sampai akhirnya dia kembali mengatakan “kulo mboten mawon mbak” (saya tidak usah saja mbak). Disana tampaak adanya keminderan yang ssangat kuat, bahkan ketika itu dilakukan di lingkungan yang terbatas. Selain karena ada kendala dalam berbahasa. Ini karena bu Iyem kesulitan untuk berbahasa Indonesia. Dalam pertemuan yang dilakukan jumlah kata-kata yang diucapkannya sangat sedikit dan dengan menggunakan bahasa Jawa.

Namun demikian dalam proses interaksi yang terjadi selanjutnya adalah adanya peningkatan rasa percaya diri dalam dirinya. Dalam proses-proses selanjutnya nampak bahwa perasaan minder lambat laun semakin berkurang dengan peran-peran yang dipercayakan kepadanya. Dalam suatu kesempatan dia bersedia untuk terlibat dalam sebuah lakon pementasan. Saat itu telah terbentuk sebuah komunitas bersama yang diberi nama “Seruni” atau “Seru Waton Muni”. Dengan bentuk pementasannya berupa Wayang Waton karena dalam pementasannya tidak sesuai dengan kaidah-kaidah pewayangan. Temanya sendiri berasal dari tema yang pernah dialami sendiri oleh anggota komunitas itu yang digali setelah melalui diskusi kecil-kecilan. Pesan-pesan apa yang akan disampaikan juga di diskusikan bersama-sama.
Waktu itu bulan Agustus 2004. Pada bulan tersebut akan ada even seni di Tutup Ngisor, sebuah tempat di lereng Gunung Merapi. Dan komunitas Seruni akan ikut terlibat dalam pementasan tersebut. Pada saat itu Ibu Iyem bersedia untuk ikut terlibat dalam pementasan. Walaupun tidak menjadi pemeran utama, tapi sudah terlihat bahwa dia antusias dengan kegiatan tersebut. Bukan seberapa banyak peran yang dia dapatkan, lebih dari itu adalah ketika di berani untuk pentas. Ini karena pentas tersebut akan di lihat oleh begitu banyak orang.

Dari sini dapat dilihat bahwa bukanlah hal yang memalukan ketika seorang perempuaan mengalami KDRT. Dan ketika dia mau ikut dan terlibat dalam pementasan itu, maka sebenarnya telah ada pemahaman baru dalam dirinya tentang persoalan kekerasan terhadap perempuan. Persoalan KDRT bukan lagi menjadi aib! Dan KDRT bukan lagi menjadi persoalan Privat. Pentas itu sendiri bisa berjalan dengan baik dan sesuai dengan rencana. Bu Iyem berhasil melakukan perannya dengan baik.

Disini Interaksi dengan teman-teman baru dengan latar belakang kasus yang beragam memberikan kekuatan dan kesadaran baru terhadap cara melihat dan memaknai kasus yang dialaminya.

Menjadi Motivator Lokal
Dari kesadaran-kesadaran baru yang ada tersebut maka ketika ada salah seorang temannya yang juga mengalami kekerasan, maka kemudian dia bisa tahu apa yang mesti dilakukan. Diajaknya teman tersebut ke tempat kami. Dan menjadi kejutan bagi kami ketika suatu ketika dia datang dengan mengajak seorang temannya. Bu Iyem sedikit bercerita tentang temannya yang mengalami masalah. Kemudian di ketahui bahwa temannya tersebut mengalami kekerasan dan teman tersebut tahu lembaga ini darinya. Dari sana dapat dilihat bahwa telah ada kesadaran untuk menolong perempuan di sekitarnya. Dalam konteks ini dia telah mampu melakukan advokasi terhadap terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Dan hari itu sesungguhnya dia telah menjadi motivaator bagi korban Kekerasan terhadap Perempuan yang lain.

No comments: