Tuesday, October 03, 2006

SELERA ADALAH SENJATA: Halal dan Praktek Konsumsi di Yogyakarta

Oleh Fauzul Muhammad, Yogyakarta

Danar Dono adalah Sherlock Holmes-nya Yogyakarta. Tapi berbeda dengan Sherlock yang akrab dengan daging dan darah manusia karena menekuni investigasi kriminalitas dan merupakan tokoh dalam serial novel karangan Sir Arthur Conan Doyle, Dono adalah sosok nyata yang justru lebih sering menggauli daging dan darah hewan—ia seorang staf pengajar di fakultas peternakan di sebuah PTN di Yogyakarta. Lelaki berkumis tipis ini juga melakukan investigasi sebagaimana Sherlock, namun untuk kepentingan yang lebih spesifik, yaitu isu halal. Dono dengan dibantu beberapa orang rekannya rela keluar-masuk pasar dan tempat penjualan makanan untuk melacak kabar beredarnya produk makanan yang diragukan kehalalannya.

Untuk memperlancar tugasnya, Dono yang juga seorang auditor halal di MUI ini memanfaatkan seluruh fasilitas yang tersedia. Ia memanfaatkan teknologi komunikasi seluler untuk menjembatani pertanyaan-pertanyaan dari konsumen muslim mengenai kehalalan sebuah produk yang ia terima, atau juga sesekali meneruskan pertanyaan-pertanyaan itu ke sesama akademisi yang menekuni isu ini. Media radio juga tak lepas dari jamahannya karena ia juga menjadi narasumber tetap untuk sebuah acara dialog bertemakan halal di sebuah radio Islam di Yogyakarta. Selain itu, untuk menjaga kebaruan (update) informasi halal, di ruang kerjanya di kampus tersedia akses internet yang cukup memadai.

***

Kata orang bijak, anak ibarat anak panah. Untuk mencapai sasarannya dengan tepat, dibutuhkan anak panah yang terawat dan dibuat dari bahan yang bermutu. Maka bagi sebagian orang tua, mengurus anak kerapkali butuh perhatian khusus.

Damar, misalnya, ayah dari seorang balita yang tinggal di Solo (Jawa Tengah) ini harus berpikir dua kali saat putrinya sakit. Sebagai seorang muslim, ia musti berhati-hati dalam memilih obat yang akan digunakan. Bukan saja karena perkara kemanjuran atau bahan-bahan beracun, tapi juga karena teknologi obat-obatan yang semakin maju memungkinkan bahan obat terbuat dari bahan baku yang sebelumnya belum terbayangkan. Berdasarkan informasi yang ia dapat, saat ini beredar selaput kapsul obat yang terbuat dari babi. Dari beberapa media massa berciri Islam yang selama ini ia baca (antara lain surat kabar Republika, majalah Insani, dan tabloid Khalifah), Islam mengajarkan umatnya untuk menjauhi bahan-bahan makanan, obat-obatan, dan kosmetika yang mengandung babi. Padahal selama ini ia belum pernah menemui satupun obat untuk anaknya yang mencantumkan label halal di kemasannya. Alhasil, hanya kegamangan lah yang ia temui.

Beda latar belakang, beda ceritanya. Meskipun sama-sama seorang muslim, apa yang didapati Dono berlainan dengan Damar. Sebagai seorang akademisi dan auditor halal, Dono memiliki pengetahuan yang cukup luas dan mendalam tentang seluk-beluk halal, baik secara teologis atau saintifik. Meskipun demikian, hal itu tidak membuatnya menjadi paranoid dalam mengkonsumsi produk-produk makanan, obat-obatan, dan kosmetika. Ia ”sekadar” berusaha bersikap lebih hati-hati dan selektif dalam memilih-milih produk seperti itu, antara lain dengan mengecek label yang diterakan pada kemasan produk itu. Bahkan tatkala mendapat pemberian produk serupa dari orang lain, maka ia tetap menerima pemberian itu—paling-paling sekadar mempertanyakan produsen atau tempat penjualan dari produk tersebut.

***

Menjadi konsumen di negara dunia ketiga macam Indonesia memang butuh perjuangan. Demikian pula dengan konsumen muslim yang sejatinya merupakan mayoritas di Indonesia. Di Yogyakarta, isu-isu mengenai kemunculan produk-produk makanan dan sejenisnya yang diragukan kehalalannya terus saja bermunculan—meskipun frekuensinya kini lebih jarang dibandingkan pada masa lalu—seperti mie ayam ras tikus, bakso kuah ular, dan es krim dengan bahan baku rambut manusia. Padahal sebagai bagian mayoritas dari masyarakat, potensi ekonomi dari segmen pasar muslim sangat besar. Untuk memanfaatkan potensi pasar yang prospektif itu, para pelaku usaha makanan dengan mudah mencantumkan label halal di kemasan produk atau media promosi (seperti spanduk) usahanya, tanpa publik benar-benar tahu kadar kehalalan dari produk yang dijajakan.

Itulah mengapa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengkampanyekan sertifikasi halal. Alasan organisasi yang menjadi tempat berkumpulnya organisasi-organisasi Islam di Indonesia itu (meskipun tidak semua), tanpa adanya label halal yang telah teruji oleh instansi yang kompeten dan tidak independen, maka konsumen muslim akan menemui banyak kerepotan dalam memiliah-milah produk yang sesuai. Tentu saja, konsumen muslim di sini adalah orang-orang Islam yang menyepakati konsep halal seperti yang dikampanyekan MUI. Bila dikategorikan, mereka lazimnya dimasukkan ke dalam kelompok santri. Pada sisi lain, sebagian umat Islam di Indonesia juga memiliki pemahaman yang berlainan dengan mereka—termasuk dalam perkara halal—sebagaimana kaum abangan dan atau liberal.

Bagi muslim yang meyakininya seperti Damar dan Dono, tuntunan halal dalam Islam telah dinyatakan secara tegas di dalam kitab suci Al-Qur’an. Kalaupun kehadiran iptek memunculkan inovasi di dalam bahan-bahan makanan, obat-obatan, dan kosmetika yang lebih rumit, maka pembuktian secara saintifik dianggap mampu menguji tingkat kehalalan dari bahan-bahan itu. Meskipun demikian, tetap saja ada produsen-produsen beragama Islam yang enggan mengurus sertifikasi halal ke MUI karena berbagai alasan, seperti mahalnya biaya, rumitnya proses pengujian, atau karena ketidaktahuan. Maklum, pengetahuan agama dari produsen-produsen yang berasal dari negara dunia ketiga bermacam-macam sebagaimana jenis dan tingkat pendidikan yang pernah mereka kecap sebelumnya.

Sikap negara dalam urusan halal acapkali juga maju-mundur. Bagi orang-orang seperti Damar dan Dono, negara yang memiliki penduduk mayoritas beragama Islam seperti Indonesia ini tentu sudah sepantasnya mensosialisasikan nilai-nilai Islam seperti halal. Kenyataannya, harapan mereka itu bertepuk sebelah tangan. Pihak yang keukeuh (bersikukuh—red) merintis dan memperjuangkan penegakan halal bagi umat Islam di Indonesia justru MUI melalui anak organisasinya, Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika (LP POM). Kini, setelah isu halal semakin banyak disadari oleh muslim Indonesia, rupa-rupanya Depag tak mau tinggal diam. Setelah gagal menyaingi sertifikat halal LP POM MUI dengan rencana pembuatan stiker label halal untuk setiap produk terkait, kini Depag serius mempersiapkan draf RUU Jaminan Produk Halal. Patut disayangkan, tabiat mereka masih juga cenderung koruptif sebagaimana yang terjadi pada skandal pengelolaan haji yang menyeret mantan Menag ke balik jeruji bui.

MUI sendiri bukannya lepas dari tudingan koruptif. Bagi orang-orang yang berseberangan pendapat, MUI tak lebih dari organisasi bentukan rezim masa lalu untuk mengkooptasi umat Islam di Indonesia yang berperangai otoriter dalam membuat kebijakan-kebijakannya. Padahal bagi mereka, persoalan keagamaan berada pada ruang privat yang tidak boleh diintervensi oleh kekuatan apapun dari luar, baik itu atas nama negara, ulama, dsb.

Namun bukan berarti orang-orang yang mendukung kemerdekaan konsumen seperti mereka bisa berleha-leha dengan sekadar berdiri di atas kaki sendiri. Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, umat Islam di Indonesia terbagi-bagi ke dalam berbagai kelompok yang bahkan secara sadar mereka bentuk sendiri. Fenomena ini dapat disimak dengan adanya organisasi-organisasi seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Jaringan Islam Liberal (JIL). Lagipula, tidak semua organisasi-organisasi seperti itu menganggap halal sebagai isu yang penting dan menjadi prioritas untuk disosialisasikan—dakwah, kata mereka. Bahkan ornop-ornop yang bergerak di bidang advokasi konsumen umumnya juga masih berfokus pada segmen konsumen yang umum dan lintas agama, bukannya segmen muslim. Padahal, sesungguhnya selalu ada penganut agama lain di luar Islam yang juga mengkonsumsi produk-produk yang berlabel halal, antara lain karena alasan keterjaminan mutu bahan yang digunakan.

***

Sesungguhnya ada satu hal utama yang menyatukan Damar dan Dono, yaitu selera. Sebagai muslim ”santri” yang taat (setidaknya dalam sepenangkapan saya), keduanya meyakini konsep halal dan berusaha untuk mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Bagi mereka, halal bukan hanya bersifat teologis, tapi juga layak diperjuangkan (ideologis), atau bahkan bisa menjadi pemantik kreatifitas (estetis). Bila Dono menjadi investigator amatir, maka Damar yang seorang pekerja audiovisual merancang proposal film dokumenter mengenai wacana halal di Indonesia.

Bagi keduanya, halal tidak dimaknai sebagai nilai-nilai yang mengkungkung. Dalam sebuah perbincangan dengan Damar, secara tidak langsung saya menangkap kesan halal di matanya adalah sebuah jalan untuk menjaga keluarganya dari efek-efek negatif yang bisa hadir dari produk-produk yang diragukan kehalalannya, seperti minuman keras dan narkoba. Bagi Dono yang mantan aktifis keislaman pada waktu duduk di bangku kuliah dahulu, halal telah menjadi bentuk resistensi dari orang-orang sepertinya dari serbuan kapital yang hedonistik. Maka orang sepertinya jelas-jelas akan menjauhi tempat-tempat seperti diskotik yang semerbak dengan aroma keduniaan. Tidaklah salah bila Barker menyatakan bahwa sikap aktif dari konsumen justru bisa berarti menandai penyerapan dari nilai-nilai (yang bagi sementara orang dianggap) hegemonis (2005: 454). Di mata orang-orang yang meyakini, halal menjadi perisai dan senjata dalam mengarungi kehidupan.

No comments: