Tuesday, October 03, 2006

Sebuah Catatan Yang Tertinggal Dari Rumpun Bambu

Akhirnya empat hari itu berlalu juga, empat hari yang menurut saya dan juga 14 teman peserta lainnya adalah “holiday” yang menyenangkan, ilmiah sekaligus mendidik. Tak banyak ungkapan yang bisa kami sampaikan kepada penyelenggara kecuali ungkapan terima kasih. Meski apa yang kami dapat selama empat hari itu tidak seperti gambaran yang kami bawa dari daerah. Saya dan juga 14 peserta lainnya berangkat dari tempat yang berbeda-beda. Meski tidak mewakili pluralitas nusantara, tetapi Jogja, Bandung, Semarang, Pati, Kudus, Cepu serta Bogor sedah menunjukan pluralitas diantara kami. Latar belakang yang hadir juga cukup menarik. Setidaknya heterogenitas yang ada mampu menghadirkan cerita dan pengalaman menarik bagi saya.

Berangkat dari sekretariat lembaga LAFADL yaitu penyelenggara forum pelatihan ini, saya diantar menuju lokasi pelatihan yaitu Kawasan Studio Audio Visual PUSKAT di Dayu daerah Jogja utara. Kedatangan kami langsung disambut pemandangan alam yang begitu asri, nuansa kebon bambu yang menyentak dan meng-harubirukan perasaan saya akan suasana pedesaan (sangat konteks dengan lokasi yang memang di pedesaan). Suasana yang cukup humanistis tapi tidak mistis. Dan sepertinya pihak penyelenggara sengaja mengkondisikan demikian, agar kami dapat konsen mengikuti forum pelatihan Bengkel Kerja Budaya : Belajar menulis Sejarah Sosial Masyarakat. Dan ternyata saya memang sangat menikmatinya.

***

Hari pertama dilokasi ini kami juga bertemu dengan peserta lain yang sudah hadir, yah..sekedar perkenalan formal (basa-basi). Dan perkenalan ini kami lanjutkan dalam suasana forum. Sebuah awal proses interaksi yang juga formal dan terkesan kaku. Maklum kami semua yang ada disitu tampak asing satu sama lain. Kekakuaan ini tidak berlangsung lama dan berangsur pulih ketika kami dikenalkan pada sosok Hikmat Budiman dan Hairus Salim. Beliau-beliau inilah yang oleh penyelenggara diminta untuk mendampingi kami dalam proses belajar menulis empat hari kedepan. Belakangan kami juga dikenalkan pada sosok Sujud (yang bukan Sutrisno) seorang pengajar seni rupa pada institusi seni di Jogja. Untuk beliau yang satu ini ia “hanya” akan ikut berbagi pengalaman bagaimana menulis dalam pendekatan ‘Culturae studies’. Hari pertama secara umum cukup menarik perhatian saya. Insting ke-ingin-tahuan saya berperan besar untuk menyimak segala segala pemaparan panitia yang berusaha ramah (sekilah tampak wajah mereka yang menyiratkan kelelahan). Hanya saya agak sedikit terganggu dengan jadwal/ rundown agenda forum yang disodorkan panitia. Rundown yang membuat saya mengernyitkan dahi. Dalam rundown tersebut tertera agenda yang sama dan itu-itu saja, yaitu makan pagi, menulis, makan siang, menulis, break, menulis, kemudian istirahat. Rundown ini sangat tidak sesuai dengan TOR acara yang saya lihat di Website panitia. Tidak ada materi seperti yang tercantum dalam website tersebut. Hal yang sama sepertinya juga bergejolak dalam benak peserta lain. Tapi pada akhirnya saya justru tersenyum, entah kenapa tiba-tiba muncul kegembiraan dalam batin saya. Holiday, itulah yang terbayang saat itu. Senang-senang tanpa harus pusing-pusing mikirin materi forum pelatihan ini. Having fun tergambar jelas dalam benak saya.

Namun tiga hari sesudahnya barulah saya sadar. Apa yang saya bayangkan pada hari sebelumnya langsung lenyap, jangankan senang-senang, saat istirahat saja kami dibuat gelisah. Kegiatan yang ada ternyata tulis-menulis yang cukup runtut. Pada awalnya saya agak tidak percaya diri untuk menulis sesuatu, kalaupun ada biasanya terkesan “marah-marah”, pokoknya berbau makalah seminar banget deh..!.Dan hal itulah yang terjadi dengan tulisan saya yang pertama di forum ini. Singgah Di Ruang Hampa, demikian saya memberinya judul. Ternyata lewat tulisan inilah saya banyak mendapatkan pelajaran dan membuka kebisuan pikiran saya selama ini. Saya jadi tahu apa yang seharusnya saya tulis tanpa perlu marah-marah. Dan itulah hebatnya forum ini. Arahan dan pembetulan langsung ditunjukan tanpa teor-teori muluk. Pendamping yang menurut beberapa peserta lain disebut-sebut “Pembantai Kejam”, menurut saya justru “Pembantai Bijak”. Solusi kritis yang diberikan cukup membantu pemahaman saya, termasuk kata kunci pendamping “memang kenapa..??”. Maksud dari forum ini langsung saya pahami saat itu juga.

Jika hari pertama dan kedua diisi materi pengantar dan diskusi. Dua hari berikutnya menulis dengan cepat menjadi santapan kami di tiap waktu senggang. Membahas tulisan peserta yang sudah jadi ketika presentasi dan menulis ulang / revisi atau membuat tulisan baru ketika istirahat (breaktime). Waktu istirahat yang diberikan panitia sebenarnya cukup luang, namun karana hal ini (tulis-menulis) adalah baru bagi saya, maka waktu jualah yang membatasi gerak tulisan saya. Hal yang sama juga dialami peserta lain. Bahkan pledoi “terbatasnya ruang dan waktu” menjadi populer bagi kami ketika presentasi.

Kejadian yang cukup menarik di dua hari berikutnya adalah kaburnya beberapa peserta forum pelatihan ini tanpa alasan dan keterangan yang jelas. Mereka dari Jatinangor, Semarang, Pati, Purwokerto dan Jepara.Tak pelak kaburnya rekan kami tersebut menimbulkan beberapa polemik diantara, panitia , pendamping apalagi peserta. Berbagai analisapun muncul, mulai dari sosok pendamping yang menyebabkan mereka tereliminasi hingga adanya konspirasi atau persengkokolan untuk kabur bersama. Wajar berlaku demikian mengingat rekan kami yang kabur tersebut ternyata satu kamar. Tapi bagi saya hal itu tidak terlalu mengejutkan. Beberapa dari mereka memang terlihat gelisah sejak awal, tidak meyakinkan untuk meneruskan forum pelatihan ini sampai tuntas. Sangat disayangkan memang. Kepergian teman kami tersebut tanpa keterangan atau pamit pada panitia dan peserta lain. Belakangan diketahui ternyata ada dua orang saja yang memiliki alasan yang jelas, yaitu teman dari Purwokerto dan Pati (sdr Husen). Ya..secara etika tidak bagus untuk diikuti dan dijadikan panutan. Akhirnya dari limabelas peserta tinggal sembilan orang yang meneruskan acara ini termasuk saya.

Sebenarnya ditempat kami menginap (PUSKAT) kami tidak sendirian. Ada pengguna lokasi ini yang berlatih teater di sini. Hingar bingar serta hiruk pikuk orang latihan teater mewarnai proses menulis kami. Keterbatasan panitia yang hanya mampu menyediakan dua unit komputer dan dua laptop tidak menjadi halangan untuk terus menulis. Akibat dari terbatasnya alat kerja tersebut, maka antrian menulispun tidak terelakan. Dalam jeda antrian tersebut saya dan teman satu kamar (Budi, Fauzrul, Mustaqiem dan Adi) banyak melakukan diskusi. Baik mengenai materi acara, kinerja panitia hingga intrik sesama peserta, pendamping sampai isu-isu tak jelas. Pada hari ketiga kami mengenal pendamping baru. Beliau adalah Mas Bisri dari Desantara, sponsor acara ini. Figur kebapakan beliau cukup menengahi diskusi panjang tentang tulisan tulisan kami.

Di hari terakhir presentasi (jum’at) saya dan peserta lain cukup serius melakukan pembenahan tulisan. Setelah sebelumnya dibedah habis-habisan saya berusaha menyempurnakan tulisan tersebut. Setelah menimbang satu dan hal lain, saya memutuskan merubah total tulisan sebelumnya. Maka “Mime Street Gerilya dalam Lumpur” menjadi tulisan kedua yang akan saya presentasikan. Meski sudah maksimal toh dari hasil presentasi, tulisan kedua inipun tetap perlu pembenahan. Kesalahan isi yaitu kurang fokus, banyak menggunakan bahasa metafor serta belum tertuangnya gagasan menarik lain kedalam tulisan, menjadi 0leh-oleh dan PR besar yang saya bawa pulang kembali ke Bogor. Ya….acara pelatihan sudah memasuki hari terakhir. Meski dirasa kurang keterbatasan waktu jualah yang mengharuskan selesai. Tapi saya tidak terlalu khawatir dengan hal itu. RTL yang telah kami sepakati menumbuhkan harapan untuk tetap berlatih dan terus menulis. Blog bersama yang ditawarkan sebagai solusi tindak lanjut cukup menarik. Disamping itu Desantara yang memiliki jejaring media cukup memberi ruang bagi peserta Bengkel Kerja Budaya paska pelatihan ini.

***

Rasa-rasanya terima kasih perlu saya sampaikan kepada panitia penyelenggara yang mengundang saya (mas Heru, Uzair,Bu Nunung, Iput, Jay dan juga Little Heru). Jika tidak hadir mungkin saya akan menyesalinya. Kapan lagi bisa Holiday gratis…hehehhe. Kepada pendamping tak kurang-kurangya saya juga mengucapkan terima ksaih. Pada mas Hikmat Budiman terimakasih atas “pembantaiannya”. Mungkin cuma mas Hikamt yang bisa memaksa saya untuk naik ke atas meja dalam sebuah forum untuk mempresentasikan kegiatan MimeStreet saya. Dan terutama dorongan mas Hikmat agar saya tetap menulis akan saya ingat. Pada mas Salim bimbingan untuk fokus pada tulisan akan saya perhatikan, terima kasih atas diskusi ‘singgah di ruang hampa’, sayang ketika presentasi tulisan kedua mas Salim tidak hadir, padahal saya sangat menantikan kritik dan bahasannya.

Pada sosok mas Bisri yang saya kagumi, terimaksih atas undangannya untuk mampir ke Desantara. Suatu hari saya pasti akan mampir. Untuk mas Sujud, seandainya saya wanita mungkin saya akan naksir sampeyan. Tapi berhubung saya laki-laki normal mungkin pujian dan kekaguman yang bisa saya sampaikan. Terimaksih untuk diskusi tentang musik, scene indie dan juga bahasan tentang youth culture yang sangat menarik. Sebuah cerita pengalaman yang cukup menginspirasikan saya untuk melakukan sesuatu di Bogor nanti. Buat teman-teman penghuni kamar cendrawasih, akhirnya kitalah yang lolos eliminasi meski kehadiran kita di forum sering terlambat. Nyali kita telah teruji untuk mengikuti kegiatan ini hingga tuntas. Budi suprojo adalah teman diskusi menjelang tidur yang menarik, Mustaqiem Pati adalah sosok pemuda gerakan yang berbakat dengan “Sapi dan Menara-nya”. Pada Fauzrul terima kasih untuk tukar pengalamannya, juga Fuad Jepara yang bergabung di cendrawasih belakangan. Anda adalah figur peserta berbusana terbaik menurut versi saya (konsisten pakai Batik)

Teman-teman seperjuangan, tetangga kamar. Ellya, Dian dan Rofii semoga suatu ketika kita dapat bertemu kembali dalam agenda kerja produktif lainnya. Buat Dian, waspadalah suatu saat saya akan menginvasi taman-taman di kota Bandung. Pada Ellya, tulisan anda menginspirasikan saya untuk membuat tulisan (cerita) yang akan saya pentaskan. Buat Rofii, semoga anda tetap gigih dan menjadi jurnalis yang jujur sesuai misi Justicia, tunggulah tulisan saya di media anda. Terakhir pada mbak Tarlen terima kasih untuk saran agar mencoba menulis hal-hal kecil yang saya rasakan, mungkin saya akan mencoba menulis diary seperti yang anada sarankan. Sukses buat proyek urban cartography-nya dan ditunggu tulisannya di Media PlayBoy Indonesia.

No comments: