Tuesday, October 03, 2006

Mime Street, Gerilya dalam Lumpur

Oleh: Anggit Saranta, aktifis BengkelAO, Bogor

Gerak yang estetis…kadang meradang…mengejang, tak jarang sang pelakonnya tertawa, menangis bahkan berlarian. Tapi semuanya tanpa suara, di belakang si pelakon tampak kepadatan penonton yang untuk sesaat acuh, mendongak sebentar kemudian pergi. Si pelakon tetap tidak peduli, tetap asyik dalam eksplorasi perannya diiringi suara menderu dari tiap kendaraan yang lewat.

Kejadian tersebut terjadi pada awal 2005, disebuah tugu peringatan di kota hujan. Sebutlah Tugu Kujang di Kota Bogor tepatnya 1 Januari 2005 jam 00.00. Beberapa penonton tampak menggumam…Pantomime…pantomime. Sang pelakon tampak maklum dengan gumamam tersebut , meski dalam release pementasannya disebutkan MIME STREET.

Teringat kejadian pada 2001 silam di kota Jogja ketika pelaku masih tergabung dalam sebuah komunitas teater. Kemandulan dan kebuntuan komunitasnya terhadap proses dramaturgi menyebabkan dirinya merasa miskin kreatifitas. Maka dipilihlah dunia performance art spontanitas sebagai bentuk penuangan gagasan-gagasan kreatifnya. Perkenalan dengan seniman-seniman teater lainnya telah menyibakkan wawasan baru tentang bentuk pertunjukan lain diluar teater. Pantomime, demikian orang umum menyebutnya. Sebuah acting dalam bentuk olah tubuh estetis tanpa suara.

Pergulatan dan pertemanan dengan mimer dan performer lain telah membawa pelaku pada sebuah pilihan. Pantomime pada saat itu secara mainstream telah menyebabkan pelaku kesulitan melakukan ekspresi. Kemiskinan dalam bentuk materi menyebabkan pelaku tidak mampu menyewa sebuah gedung untuk melakukan pertunjukan, menghasilkan ide kreatif untuk menemukan alternatif ruang pertunjukan baru. Maka pilihan pentas di jalan menjadi gagasan baru yang mengilhami pelaku untuk ber pantomime dengan panggung ruang terbuka yang bisa dilihat semua orang. Jalan dianggap pelaku sebagai tempat yang ramah, mampu mengakomodir kebentingan banyak pihak. Disatu sisi jalan (jalanan) mampu memberikan pandangan eksploratif bagi pelaku untuk berkreasi, meski ada persaingan disana. Namun justru persaingan itulah yang menjadikan sebuah gagasan estetis serta mampu menumbuhkan kesepahaman antara pelaku, teman-teman satu komunitas serta pengguna jalan lainnya.

Moment awal bersama beberapa perupa dari AKSERI. Yaitu menjadi opening act pameran lukisan di kawasan pasar ngasem, adalah titik awal pelaku mencoba terus menggali dan ber-eksplorasi bagaimana ber pantomime di jalanan. Namun ternyata ini tidak mudah dan menjadi sebuah kebimbangan ketika seorang tokoh mimer melakukan kritik terhadap apa yang dilakukan pelaku. Kritik bahwa apa yang dilakukan pelaku bukanlah sebuah pantomime, melainkan performance biasa. Pada saat itu sang Tokoh sedang memperjuangkan pementasan Pantomime yang tematis, ruang pertunjukan yang benar dengan penonton yang focus. Pelaku bimbang dan kecewa ketika stigma yang berlaku bagi dirinya adalah pantomime yang setengah-tengah dan dianggap memalukan pantomime sebagai pertunjukan estetik. Stigma itu cukup mengganggu proses kreatif pelaku dan teman-teman lain. Namun seorang teman yang berprofesi sebagai perupa, penganut ‘street art’ telah menyadarkan pelaku. Beliau menunjukan Foto dan gambar-gambar aktifitas mimer dari sebuah majalah perancis. Gambar suatu pertunjukan pantomime tanpa panggung dan penonton. Disitu pelaku mendapati tokoh besar Marcell Marceu yang dianggap sebagai ikon pantomime dunia. Yang menarik teman pelaku tadi memberi sebuah komentar provokatif yang menggugah, “kalau disini menyebut pentasmu sebagai pantomime itu tabu ganti istilah saja …gitu kok repot”.

Berawal dari provokasi itulah pelaku memutuskan tetap berproses tanpa memperdulikan sebutan apa bentuk pertunjukan itu nantinya. Keseringan berpentas dengan teman-teman justru melahirkan sebutan MIME on The Street yang tanpa sadar menjadi sebutan bagi kegiatan kelompok tersebut oleh teman sesama street art. Kesadaran akan kesamaan ide dan gagasan kemudian melahirkan keinginan untuk membuat sebuah komunitas bersama. Penamaan komunitasnya pun cukup unik. Berawal dari sejarah salah seorang anggota kelompok yang memiliki ketergantungan terhadap miras dan memutuskan untuk berhenti (insyaf). Pada suatu ketika teman ini mengalami over dosis minuman AO, yaitu sebuah minuman yang dalam bahasan sesama kelompok dikenal sebagai kasta terendah dalam per-mirasan. Maka lahirlah penamaan Bengkel “AO” sebagai manifestasi untuk berhenti mengkonsumsi dan berusaha berproses kreatif tanpa miras. Jalan-jalan dijogja pun untuk sesaat sempat diwarnai kegiatan kelompk ini, meski tidak terlalu heboh. Mime on the street akhirnya dijadikan pilihan utama kegiatan komunitas Bengkel AO. Mime on the street kemudian coba dikenalkan ke masyarakat umum sebagai Mime Street. Roadshow pun coba digagas oleh kelompok tersebut, salah satunya ke kota Solo dan wonosobo. Memang pada awalnya kedatangan Bengkel AO tersebut atas undangan teman-teman perupa lokal untuk meramaikan pameran lukisan idealis mereka. Namun justru dari sinilah semangat pelaku dengan Bengkel AOnya untuk menumbuh kembangkan Mime Street ini makin membuncah.

Perjalanan mime street ini juga tidak mulus. Sesuai seleksi alam komunitas ini mulai ditinggalkan beberapa anggotanya dengan berbagai alasan. Lulus kuliah dan meninggalkan jogja umumnya menjadi alasan utama selain perbedaan-perbedaan lainnya.Akhirnya ditengah ketidak pastian siklus hidup komunitas, pelaku mencoba survive untuk tetap menghidupkan mime street ini dengan beberapa upaya. Salah satu bentuk konkritnya adalah kolaborasi pelaku dengan sebuah band indie jogja yang ber-genre musik ska. Kolaborasi tersebut terinspirasi oleh penampilan band ska luar yaitu The Special. Rupanya kolaborasi tersebut mampu menarik perhatian masyarakat umum dan bisa membuat bentuk pertunjukan itu tetap eksis di kalangan komunitas indie jogja. The Alaska (nama band tersebut) ternyata mampu memberikan ruang yang cukup luas bagi pelaku. Namun efek buruknya ketika badai menghantam band tersebut, kegiatan pelaku ikut goyah. Akhirnya kerjasama kreatif tersebut dihentikan.

Semangat untuk tetap ber Mime street rupanya tidak bisa hilang. Ketika pelaku melabuhkan perjalanan hidupnya kota Bogor semangat itu tetap dibawa. Maka tahapan selanjutnya Bengkel AO hijrah ke kota ini. Pentas demi pentas dilakoni. Stasiun Bogor, Taman Topi, Air mancur, jalan Pajajaran dan sudut jalan-jalan yang ada di kota bogor menjadi sasaran pelaku untuk ber Mime Street ria. Sambutan penonton maupun masyarakat yang tak acuh serta miskin tepuk tangan, tidak menghalangi pelaku untuk terus bergerilya. MERDEKA…!!!!!!

1 comment:

baineudelhofen said...

JW Marriott International Airport, Miami, FL - KLM
JW 광양 출장안마 Marriott 경기도 출장샵 International Airport, Miami, 도레미시디 출장샵 FL 남양주 출장샵 JW 진주 출장안마 Marriott International Airport, Miami, FL JW Marriott International Airport, Miami, FL.