Tuesday, October 03, 2006

Kudus Kulon, Akar Kesadaran Multikultural

Oleh M.Mustaqim, Kudus-Jawa Tengah

Menara, secara fisik boleh jadi adalah tumpukan batu bata, atau bangunan tinggi yang biasanya ada di depan masjid. Tapi bagi masyarakat Kudus, Menara Kudus mempunyai makna yang dalam dalam proses kesejarahan. Karena melalui menara, lima abad yang lalu sebuah peradaban baru terbangun. Asimilasi budaya Hindu-Islam adalah produk kesejarahan dalam konteks masyarakat multikultural yang ada pada saat itu. Dan masyarakat Kudus Kulon adalah situs sejarah, sebagai bukti multikulturalisme masyarakat yang hidup dengan damai. Namun, mampukah “keindahan” sejarah tersebut bertahan dalam konteks kekinian, di tengah arus Global?

Setting Sosial Kudus Kulon

Secara Umum, Kudus adalah salah satu kabupaten di wilayah Propinsi Jawa Tengah yang relatif kecil, yakni dengan luas 42.516 Hektar. Kota yang sering dijuluki Kota Santri ini terdiri dari 9 kecamatan, dengan luas dan geografis yang berbeda–beda. Di antara 9 kecamatan tersebut, Kecamatan Kota adalah salah satu wilayah yang syarat akan situs kesejarahan. Terlebih wilayah di Sekitar Menara Kudus dan Makam sunan Kudus, yang kemudian terkenal dengan Kudus Kulon.

Kudus Kulon dalam konteks ini adalah lebih sebagai “ungkapan”, bukan semata-mata batas geografis.. Nama kudus Kulon sebenarnya adalah simplifikasi dari wilayah yang ada di sebelah barat Kali Gelis. Sebagaimana di ungkapkan oleh Munif, mahasiswa yang tinggal di Desa Singgocandi, daerah yang masih termasuk wilayah Kudus Kulon, bahwa Wilayah Kudus Kulon adalah daerah Kali Gelis kearah barat, dimana Menara merupakan wilayah yang terletak di barat Kali Gelis. “ Yang termasuk Kudus Kulon itu daerah barat Kali Gelis yang masih wilayah kecamatan Kota, yang meliputi Desa Kauman, Damaran, Janggalan, Sunggingan, Kajeksan Langgar Dalem, Krandon dan Singocandi”, tulisnya dalam sebuah pesan singkat (SMS). Di sini, Jelas bahwa budaya kudus Kulon lebih merupakan representasi dari daerah “ santri” yang memang sejak awal meriupakan pusat penyebaran islam di Kudus.

Dalam konteks Keragaman Agama, Kecamatan Kota merupakan daerah basis Muslim. Hal ini dapat kita lihat dari data statistik BPS Kudus tahun 2001. Dari 94.240 jiwa penduduk kota, 82.823 beragama Islam, atau sekitar 85 %. Meskipun masih kalah tinggi dengan kecamatan-kecamatan yang lain, dimana 98% penduduknya memeluk agama Islam.

Sebuah Situs Multikulturalisme

“ Ajaklah (manusia) ke jalan Tuhan Mu dengan bijaksana….”, potongan ayat Al Qur’an tersebut mungkin yang menjadikan semangat Sunan Kudus untuk berdakwah. Islam pada masa itu di tampilkan Sunan Kudus sebagai agama yang ramah, damai dan toleran. Kedatangan Islam tidak serta merta mengancam budaya lama yang sudah ada, tetapi oleh Sunan Kudus dikemas dalam nuansa yang syarat akan persamaan. Dan inilah yang di rasa efektif untuk menarik simpati masyarakat, sehingga akhirnya dengan tanpa paksaan mau memeluk Islam.
Bukti sejarah akan hal ini dapat kita lihat melalui bangunan menara Kudus dan bangunan lain yang ada di sekitarnya. Arsitektur Menara kudus dibangun dengan corak yang syarat akan nuansa Hindu (Pura), yang mana agama Hindu pada waktu itu merupakan agama mayoritas masyarakat Kudus Pra Islam. Hal ini bukan tanpa maksud, tujuan sunan Kudus pada saat itu mungkin ingin menunjukkan bahwa Iskam bukan sesuatu yang baru, melainkan mempunyai kesamaan-kesamaan dengan budaya masyarakat yang ada. Islam bukan semata-mata disimbolkan dengan karakter “ arab” yang boleh jadi berbeda dengan karakter Jawa. Inilah yang kiranya perlu menjadi perhatian kita bersama, bahwasanya Islam sangat menjunjung tinggi persamaan dan menghargai perbedaan. Sehingga semangat multikulturalisme padsa dasarnya sudah ada pada saat ini, sebagai dasar dan ruh hidup bermasyarakat.

Hal ini seakan-akan kontradiksi dengan tampilan Islam – lebih tepatnya organisasi Islam - pada saat ini yang lebih menekankan pada formalisme arab sebagai paradigmanya. Yang terjadi kemudian memunculkan berbagai macam kekerasan dan radikalisasi yang menggiring pada konflik dan perpecahan masyarakat. Sampai sini, tampak temuan kearifan yang dilakukan oleh para penyebar Islam di Jawa, khususnya di Kudus. Toleransi antar agama menjadi platform untuk membangun masyarakat yang plural. Hal inilah yang sekarang ini kta kenal dengan konsep multuikulturalisme, yang akhir-akhir ini menjadi isu yang cukup hangat. Di tengah berbagai macam benturan dan konflik antar budaya (baca: SARA), kesadaran multikulturalisme disinyalir menjadi solusi alternatif untuk mengatasi semua itu. Yang menarik kemudian, ternyata konsep multikulturalisme sudah ada sejak zaman dulu.

Bukti lain adalah adanya mitos (baca: kesepahaman) akan larangan masyarakat kudus Kulon untuk menyembelih sapi, yang sampai sekarang masih berlaku. Dalam dimensi sejarah, mitos ini berawal dari penyebaran Islam yang dilakukan oleh sunan Kudus. Pada saat itu, realtitas masyarakat Kudus adalah budaya jawa yang yang bercorak Hindu. Budaya Hindu punya kepercayaan penskralan terhadap sapi sebagai hewan yang suci. Untuk menarik simpati, sunan Kudus kemudian menambatkan sapi di depan masjid. Bukan hanya itu saja, menurut cerita, Sunan Kudus juga tidak memakan daging sapi. Hal ini kemudian diikuti oleh para pengikutnya dan murid-muridnya, hingga akhirnya terbangun sebuah tradisi untuk tidak menyembelih binatang sapi, sebagai penghormatan dan penghargaan terhadap masyarakat Hindu. Sampai sekarang mitos tersebut masih di percayai dan di pegang teguh. Menurut masyarakat, bila ada orang Kudus Kulon yang melanggar pantangan tersebut, maka akan mendapatkan bala’ atau petaka.

Terlepas dari benarti-daknya mitos dan kepercayaan tersebut, yang jelas ada semacam “ kearifan lokal” yang di lakukan Sunan Kudus, dalam rangka mewujudkan masyarakat multikultural untuk hidup bersama secara damai. Di sini kita memahami multikulturalisme bukan sebagai bagian dari dogma agama atau kepercayaan tertentu, tapi lebih sebagai condition sine quo none, pra sarat untuk mewujudkan equilibrium masyarakat.

Tantangan Multikultural Saat Ini

Kearifan sejarah pada suatu waktu tidak bisa menjamin kelanggengan kearifan tersebut. Artinya, kearifan sejarah berpeluang untuk di tinggalkan masyarakat, sebagus dan seideal apapun kearifan tersebut. Perubahan ruang dan waktu boleh jadi menjadi proses dinamisasi yang meretakkan situs sejarah. Fenomena Menara dan sapi, mungkin tidak mempunyai relevansi yang signifikan di zaman kekinian. Tapi, memang bukan itu yang urgen, semangat akan kesadaran multikulturalisme dan toleransi lah yang harus tetap di pertahankan sampai kapanpun. Terlebih di zaman sekarang ini, dimana globalisasi berpeluang untuk meretakkan nilai-nilai multikultural yang ada di masyarakat. Fenomena multikultural tidak lain adalah bom waktu, yang suatu saat akan meledak.

1 comment:

Anonymous said...

Unlimited Earnings Potential - http://1greatfuture.com

Our company is rapidly growing and offers you an extraordinary income helping others succeed. The primary requirement is to follow up on client inquiries and point them in the right direction. It is stress free, rewarding and straightforward work.

For complete details: http://1greatfuture.com


(Please feel free to delete this post if you don't want it on your blog. Thanks for the informative blog and opportunity to post.)