Tuesday, October 03, 2006

Komunitas Nisbi: Geliat ‘Agamawan Muda’ UII Yogyakarta

Oleh: Budi Suprojo - Cepu, Jawa Tengah

Kalakone ilmu iku kanthi laku, ungkapan ini tertulis di dinding sebuah ruko sekitar Delanggu Klaten. Pemilik ruko seolah mengingatkan mereka yang melewati daerah sekitar Delanggu untuk senantiasa bersikap konsisten atas kebenaran yang diyakini. Hal ini serupa dengan adagium, meminjam salah satu isi Dasa Darma Pramuka, yang menyatakan bahwa seorang pandu harus suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Konsistensi dalam menghayati kebenaran, kebaikan dan keindahan ini juga yang sering dianjurkan pada penganut setiap agama, tidak terkecuali umat islam. Dalam kajian islam, setiap muslim pun tidak dapat lepas dari anjuran untuk beragama secara utuh. Namun untuk dapat beragama secara utuh ternyata tidak semudah seperti ketika pernyataan itu diungkapkan. Kondisi inilah yang mendorong komunitas nisbi untuk selalu ‘bergerilya’ mengajak masyarakat kampus UII untuk belajar bersama memahami dan menghayati agama secara utuh.

Komunitas nisbi adalah sekumpulan mahasiswa, dosen dan karyawan di lingkungan UII yang menaruh minat besar untuk meningkatkan pemahaman dan penghayatan sebagai penganut agama islam. Komunitas nisbi pada awalnya hanyalah grenengan mahasiswa UII yang mengalami kegelisahan spiritual. Salah satunya adalah apa yang dialami oleh Kadeko, mahasiswa FIAI UII pada tahun 2003 . Dalam benak Kadeko sering muncul pertanyaan yang menunjukkan adanya inkonsistensi sikap penganut agama, misalnya sering dijumpai kasus seorang yang telah berulang kali menunaikan ibadah haji masih juga melakukan tindak korupsi, atau kegelisahan sebagian orang yang telah mempelajari agama islam dan berupaya melaksanakan ajaran sebaik mungkin tetapi tidak juga mencapai kebehagiaan. Berangakat dari kegelisahan tersebut, Kadeko lantas melakukan ‘lelaku’, seperti mencari guru spiritual hingga membaca ulang buku-buku yang sekiranya dapat menjawab kegelisahannya. Dalam lelakunya itulah, ia mendapatkan jawaban, sebuah pencerahan.

Pengalaman spiritual yang dialami Kadeko lantas dibicarakan dengan beberapa orang di lingkungan kampus UII, mulai teman kos, teman KKN, karyawan maupun dosen. Perbincangan semakin mengerucut saat Kadeko berjumpa dengan salah seorang karyawan yang memiliki latar belakang penganut tarekat. Dari berbagai perbincangan itulah terbentuk komunitas nisbi. Meski masih dalam pencarian bentuk, setidaknya bagi komunitas ini kunci untuk meraih kebahagiaan bukanlah sesuatu yang sulit. Kebahagiaan bagi kommunitas ini dapat diraih apabila penganut agama dapat mengamalkan agama mulai dari hal-hal yang kecil. Meski berangkat dari hal-hal yang kecil, asal konsisten dan secara bertahap menambah kualitas pemahaman dan penghayatan maka jalan mencapai jalan bahagia akan terbentang luas. Pemahaman seperti ini, mungkin hal yang biasa bagi sebagian orang, tetapi proses menemukan jawaban tersebut menjadi sesuatu yang lain. Ada perbedaan yang mendasar antara mereka yang memperoleh jawaban atas persoalan hidup yang dialami dengan mereka yang menemukan kebenaran dari proses lelaku. Perbedaannya terletak pada proses ‘mengalami’. Proses ‘mengalami’ inilah yang yang senantiasa dibangun oleh komunitaas nisbi.
Proses ‘mengalami’ dalam pemahaman komunitas nisbi bukanlah hal yang sulit. Bagi mereka yang berminat untuk bergabung atau sekedar mengenal komunitas ini dapat datang pada saat mereka mengadakan pertemuan. Pertemuan diadakan minimal satu kali dalam seminggu dan diadakan pada hari selasa malam rabu atau kamis malam jum’at meski tidak menutup kemungkinan diadakan pada hari lain. Tempat pertemuan pun berpindah-pindah sesuai kesepakatan anggota. Seperti pada pertemuan-pertemuan sebelumnya, pertemuan pada kamis malam jum’at minggu pertama bualan mei 2006 di rumah Imam Samroni pun tidak jauh berbeda. Pada malam itu, selepas azan isya, satu persatu anggota mulai datang. Tidak jauh berbeda dengan pertemuan sebelumnya, malam itu selain anggota tetap, hadir juga beberapa wajah baru dalam pertemuan. Malam itu, pertemuan dimulai dengan perbincangan seputar komunitas nisbi dan perkembangannya. Setelah itu kegiatan selanjutnya adalah shalat fardlu berjamaah. Bagi mereka yang belum menjadi anggota, shalat jamaah adalah tahap inisiasi, meski bagi mereka yang belum berminat atau sekedar ingin tahu dapat tinggal diam di tempat. Pada saat shalat inilah, mereka yang semula memakai jeans belel, atau celana hipster dan baju ketat maupun santri bersarung dan baju koko dengan peci miringnya berada dalam perjumpaan yang disebut ‘mengalami’ bersama lewat shalat berjamaah. Doa bersama merupakan tahap lanjut dari proses inisiasi. Proses paling menarik dari pertemuan ini terletak pada tahap berbagi pengalaman saat shalat.

Dalam proses berbagi pengalaman spiritual ini posisi masing-masing yang hadir adalah setara, hal ini berbeda dengan tarekat yang masih menggunakan terminologi guru- murid. Dalam komunitas nisbi, setiap anggota jamaah adalah guru sekaligus murid. Relasi seperti inilah yang membedakan komunitas nisbi dengan tarekat pada umumnya. Dibukanya ruang dialog inilah yang menarik sebagian masyarakat kampus UII. Oleh karena itu menjadi sebuah kewajaran manakala perkembangan komunitas ini cukup pesat. Hal ini terlihat jelas dengan melihat jumlah anggota tetap mereka, meski baru berusia satu setengah tahun, tidak kurang dari tujuh puluh orang bergabung dalam komunitas ini. Anggota komunitas ini pun beragam, mulai dari mahasiswa yang lekat dengan dunia hura-hura, hingga mereka yang aktif dalam lembaga dakwah kampus, dosen dan karyawan. Ikatan kekeluargaan yang dibangun dalam komunitas nisbi inilah yang membuat anggota komunitas selalu berupaya menyempatkan diri berbagi pengalaman dan belajar bersama disela-sela kesibukan anggota melaksanakan kuliah dengan berbagai macam tugas maupun aktivitas lainnya.

Dalam upaya mengembangkan komunitas nisbi, Kadeko pun ‘berjualan’ di lingkungan kampus UII, agar secara keilmuan apa yang dilakukan komunitas ini dapat juga dialami oleh orang lain dan diterima masyarakat kampus yang begitu mengedepankan rasionalitas. Dari berbagai perbincangan ini, muncullah gagasan membuat ‘sekolah tuhan’. Gagasan membuat sekolah tuhan ini ternyata menuai banyak kritik dari masyarakat kampus UII, belum lagi kecurigaan orang bahwa komuitas ini hendak mendirikan tarekat baru yang menyesatkan. Kesulitan yang dialami komunitas ini dalam membuat ‘sekolah tuhan’ berkaitan dengan persoalan pengalaman spiritual yang cenderung personal dan sulit diverifikasi, apalagi menyusun dalam bentuk kurikulum. Meskipun demikian, upaya komunitas nisbi untuk berbagi proses ‘mengalami’ dengan orang lain tidak jua surut, bukankah beserta kesulitan itu kemudahan(?).

No comments: