Tuesday, October 03, 2006

Sebuah Catatan Yang Tertinggal Dari Rumpun Bambu

Akhirnya empat hari itu berlalu juga, empat hari yang menurut saya dan juga 14 teman peserta lainnya adalah “holiday” yang menyenangkan, ilmiah sekaligus mendidik. Tak banyak ungkapan yang bisa kami sampaikan kepada penyelenggara kecuali ungkapan terima kasih. Meski apa yang kami dapat selama empat hari itu tidak seperti gambaran yang kami bawa dari daerah. Saya dan juga 14 peserta lainnya berangkat dari tempat yang berbeda-beda. Meski tidak mewakili pluralitas nusantara, tetapi Jogja, Bandung, Semarang, Pati, Kudus, Cepu serta Bogor sedah menunjukan pluralitas diantara kami. Latar belakang yang hadir juga cukup menarik. Setidaknya heterogenitas yang ada mampu menghadirkan cerita dan pengalaman menarik bagi saya.

Berangkat dari sekretariat lembaga LAFADL yaitu penyelenggara forum pelatihan ini, saya diantar menuju lokasi pelatihan yaitu Kawasan Studio Audio Visual PUSKAT di Dayu daerah Jogja utara. Kedatangan kami langsung disambut pemandangan alam yang begitu asri, nuansa kebon bambu yang menyentak dan meng-harubirukan perasaan saya akan suasana pedesaan (sangat konteks dengan lokasi yang memang di pedesaan). Suasana yang cukup humanistis tapi tidak mistis. Dan sepertinya pihak penyelenggara sengaja mengkondisikan demikian, agar kami dapat konsen mengikuti forum pelatihan Bengkel Kerja Budaya : Belajar menulis Sejarah Sosial Masyarakat. Dan ternyata saya memang sangat menikmatinya.

***

Hari pertama dilokasi ini kami juga bertemu dengan peserta lain yang sudah hadir, yah..sekedar perkenalan formal (basa-basi). Dan perkenalan ini kami lanjutkan dalam suasana forum. Sebuah awal proses interaksi yang juga formal dan terkesan kaku. Maklum kami semua yang ada disitu tampak asing satu sama lain. Kekakuaan ini tidak berlangsung lama dan berangsur pulih ketika kami dikenalkan pada sosok Hikmat Budiman dan Hairus Salim. Beliau-beliau inilah yang oleh penyelenggara diminta untuk mendampingi kami dalam proses belajar menulis empat hari kedepan. Belakangan kami juga dikenalkan pada sosok Sujud (yang bukan Sutrisno) seorang pengajar seni rupa pada institusi seni di Jogja. Untuk beliau yang satu ini ia “hanya” akan ikut berbagi pengalaman bagaimana menulis dalam pendekatan ‘Culturae studies’. Hari pertama secara umum cukup menarik perhatian saya. Insting ke-ingin-tahuan saya berperan besar untuk menyimak segala segala pemaparan panitia yang berusaha ramah (sekilah tampak wajah mereka yang menyiratkan kelelahan). Hanya saya agak sedikit terganggu dengan jadwal/ rundown agenda forum yang disodorkan panitia. Rundown yang membuat saya mengernyitkan dahi. Dalam rundown tersebut tertera agenda yang sama dan itu-itu saja, yaitu makan pagi, menulis, makan siang, menulis, break, menulis, kemudian istirahat. Rundown ini sangat tidak sesuai dengan TOR acara yang saya lihat di Website panitia. Tidak ada materi seperti yang tercantum dalam website tersebut. Hal yang sama sepertinya juga bergejolak dalam benak peserta lain. Tapi pada akhirnya saya justru tersenyum, entah kenapa tiba-tiba muncul kegembiraan dalam batin saya. Holiday, itulah yang terbayang saat itu. Senang-senang tanpa harus pusing-pusing mikirin materi forum pelatihan ini. Having fun tergambar jelas dalam benak saya.

Namun tiga hari sesudahnya barulah saya sadar. Apa yang saya bayangkan pada hari sebelumnya langsung lenyap, jangankan senang-senang, saat istirahat saja kami dibuat gelisah. Kegiatan yang ada ternyata tulis-menulis yang cukup runtut. Pada awalnya saya agak tidak percaya diri untuk menulis sesuatu, kalaupun ada biasanya terkesan “marah-marah”, pokoknya berbau makalah seminar banget deh..!.Dan hal itulah yang terjadi dengan tulisan saya yang pertama di forum ini. Singgah Di Ruang Hampa, demikian saya memberinya judul. Ternyata lewat tulisan inilah saya banyak mendapatkan pelajaran dan membuka kebisuan pikiran saya selama ini. Saya jadi tahu apa yang seharusnya saya tulis tanpa perlu marah-marah. Dan itulah hebatnya forum ini. Arahan dan pembetulan langsung ditunjukan tanpa teor-teori muluk. Pendamping yang menurut beberapa peserta lain disebut-sebut “Pembantai Kejam”, menurut saya justru “Pembantai Bijak”. Solusi kritis yang diberikan cukup membantu pemahaman saya, termasuk kata kunci pendamping “memang kenapa..??”. Maksud dari forum ini langsung saya pahami saat itu juga.

Jika hari pertama dan kedua diisi materi pengantar dan diskusi. Dua hari berikutnya menulis dengan cepat menjadi santapan kami di tiap waktu senggang. Membahas tulisan peserta yang sudah jadi ketika presentasi dan menulis ulang / revisi atau membuat tulisan baru ketika istirahat (breaktime). Waktu istirahat yang diberikan panitia sebenarnya cukup luang, namun karana hal ini (tulis-menulis) adalah baru bagi saya, maka waktu jualah yang membatasi gerak tulisan saya. Hal yang sama juga dialami peserta lain. Bahkan pledoi “terbatasnya ruang dan waktu” menjadi populer bagi kami ketika presentasi.

Kejadian yang cukup menarik di dua hari berikutnya adalah kaburnya beberapa peserta forum pelatihan ini tanpa alasan dan keterangan yang jelas. Mereka dari Jatinangor, Semarang, Pati, Purwokerto dan Jepara.Tak pelak kaburnya rekan kami tersebut menimbulkan beberapa polemik diantara, panitia , pendamping apalagi peserta. Berbagai analisapun muncul, mulai dari sosok pendamping yang menyebabkan mereka tereliminasi hingga adanya konspirasi atau persengkokolan untuk kabur bersama. Wajar berlaku demikian mengingat rekan kami yang kabur tersebut ternyata satu kamar. Tapi bagi saya hal itu tidak terlalu mengejutkan. Beberapa dari mereka memang terlihat gelisah sejak awal, tidak meyakinkan untuk meneruskan forum pelatihan ini sampai tuntas. Sangat disayangkan memang. Kepergian teman kami tersebut tanpa keterangan atau pamit pada panitia dan peserta lain. Belakangan diketahui ternyata ada dua orang saja yang memiliki alasan yang jelas, yaitu teman dari Purwokerto dan Pati (sdr Husen). Ya..secara etika tidak bagus untuk diikuti dan dijadikan panutan. Akhirnya dari limabelas peserta tinggal sembilan orang yang meneruskan acara ini termasuk saya.

Sebenarnya ditempat kami menginap (PUSKAT) kami tidak sendirian. Ada pengguna lokasi ini yang berlatih teater di sini. Hingar bingar serta hiruk pikuk orang latihan teater mewarnai proses menulis kami. Keterbatasan panitia yang hanya mampu menyediakan dua unit komputer dan dua laptop tidak menjadi halangan untuk terus menulis. Akibat dari terbatasnya alat kerja tersebut, maka antrian menulispun tidak terelakan. Dalam jeda antrian tersebut saya dan teman satu kamar (Budi, Fauzrul, Mustaqiem dan Adi) banyak melakukan diskusi. Baik mengenai materi acara, kinerja panitia hingga intrik sesama peserta, pendamping sampai isu-isu tak jelas. Pada hari ketiga kami mengenal pendamping baru. Beliau adalah Mas Bisri dari Desantara, sponsor acara ini. Figur kebapakan beliau cukup menengahi diskusi panjang tentang tulisan tulisan kami.

Di hari terakhir presentasi (jum’at) saya dan peserta lain cukup serius melakukan pembenahan tulisan. Setelah sebelumnya dibedah habis-habisan saya berusaha menyempurnakan tulisan tersebut. Setelah menimbang satu dan hal lain, saya memutuskan merubah total tulisan sebelumnya. Maka “Mime Street Gerilya dalam Lumpur” menjadi tulisan kedua yang akan saya presentasikan. Meski sudah maksimal toh dari hasil presentasi, tulisan kedua inipun tetap perlu pembenahan. Kesalahan isi yaitu kurang fokus, banyak menggunakan bahasa metafor serta belum tertuangnya gagasan menarik lain kedalam tulisan, menjadi 0leh-oleh dan PR besar yang saya bawa pulang kembali ke Bogor. Ya….acara pelatihan sudah memasuki hari terakhir. Meski dirasa kurang keterbatasan waktu jualah yang mengharuskan selesai. Tapi saya tidak terlalu khawatir dengan hal itu. RTL yang telah kami sepakati menumbuhkan harapan untuk tetap berlatih dan terus menulis. Blog bersama yang ditawarkan sebagai solusi tindak lanjut cukup menarik. Disamping itu Desantara yang memiliki jejaring media cukup memberi ruang bagi peserta Bengkel Kerja Budaya paska pelatihan ini.

***

Rasa-rasanya terima kasih perlu saya sampaikan kepada panitia penyelenggara yang mengundang saya (mas Heru, Uzair,Bu Nunung, Iput, Jay dan juga Little Heru). Jika tidak hadir mungkin saya akan menyesalinya. Kapan lagi bisa Holiday gratis…hehehhe. Kepada pendamping tak kurang-kurangya saya juga mengucapkan terima ksaih. Pada mas Hikmat Budiman terimakasih atas “pembantaiannya”. Mungkin cuma mas Hikamt yang bisa memaksa saya untuk naik ke atas meja dalam sebuah forum untuk mempresentasikan kegiatan MimeStreet saya. Dan terutama dorongan mas Hikmat agar saya tetap menulis akan saya ingat. Pada mas Salim bimbingan untuk fokus pada tulisan akan saya perhatikan, terima kasih atas diskusi ‘singgah di ruang hampa’, sayang ketika presentasi tulisan kedua mas Salim tidak hadir, padahal saya sangat menantikan kritik dan bahasannya.

Pada sosok mas Bisri yang saya kagumi, terimaksih atas undangannya untuk mampir ke Desantara. Suatu hari saya pasti akan mampir. Untuk mas Sujud, seandainya saya wanita mungkin saya akan naksir sampeyan. Tapi berhubung saya laki-laki normal mungkin pujian dan kekaguman yang bisa saya sampaikan. Terimaksih untuk diskusi tentang musik, scene indie dan juga bahasan tentang youth culture yang sangat menarik. Sebuah cerita pengalaman yang cukup menginspirasikan saya untuk melakukan sesuatu di Bogor nanti. Buat teman-teman penghuni kamar cendrawasih, akhirnya kitalah yang lolos eliminasi meski kehadiran kita di forum sering terlambat. Nyali kita telah teruji untuk mengikuti kegiatan ini hingga tuntas. Budi suprojo adalah teman diskusi menjelang tidur yang menarik, Mustaqiem Pati adalah sosok pemuda gerakan yang berbakat dengan “Sapi dan Menara-nya”. Pada Fauzrul terima kasih untuk tukar pengalamannya, juga Fuad Jepara yang bergabung di cendrawasih belakangan. Anda adalah figur peserta berbusana terbaik menurut versi saya (konsisten pakai Batik)

Teman-teman seperjuangan, tetangga kamar. Ellya, Dian dan Rofii semoga suatu ketika kita dapat bertemu kembali dalam agenda kerja produktif lainnya. Buat Dian, waspadalah suatu saat saya akan menginvasi taman-taman di kota Bandung. Pada Ellya, tulisan anda menginspirasikan saya untuk membuat tulisan (cerita) yang akan saya pentaskan. Buat Rofii, semoga anda tetap gigih dan menjadi jurnalis yang jujur sesuai misi Justicia, tunggulah tulisan saya di media anda. Terakhir pada mbak Tarlen terima kasih untuk saran agar mencoba menulis hal-hal kecil yang saya rasakan, mungkin saya akan mencoba menulis diary seperti yang anada sarankan. Sukses buat proyek urban cartography-nya dan ditunggu tulisannya di Media PlayBoy Indonesia.

Mime Street, Gerilya dalam Lumpur

Oleh: Anggit Saranta, aktifis BengkelAO, Bogor

Gerak yang estetis…kadang meradang…mengejang, tak jarang sang pelakonnya tertawa, menangis bahkan berlarian. Tapi semuanya tanpa suara, di belakang si pelakon tampak kepadatan penonton yang untuk sesaat acuh, mendongak sebentar kemudian pergi. Si pelakon tetap tidak peduli, tetap asyik dalam eksplorasi perannya diiringi suara menderu dari tiap kendaraan yang lewat.

Kejadian tersebut terjadi pada awal 2005, disebuah tugu peringatan di kota hujan. Sebutlah Tugu Kujang di Kota Bogor tepatnya 1 Januari 2005 jam 00.00. Beberapa penonton tampak menggumam…Pantomime…pantomime. Sang pelakon tampak maklum dengan gumamam tersebut , meski dalam release pementasannya disebutkan MIME STREET.

Teringat kejadian pada 2001 silam di kota Jogja ketika pelaku masih tergabung dalam sebuah komunitas teater. Kemandulan dan kebuntuan komunitasnya terhadap proses dramaturgi menyebabkan dirinya merasa miskin kreatifitas. Maka dipilihlah dunia performance art spontanitas sebagai bentuk penuangan gagasan-gagasan kreatifnya. Perkenalan dengan seniman-seniman teater lainnya telah menyibakkan wawasan baru tentang bentuk pertunjukan lain diluar teater. Pantomime, demikian orang umum menyebutnya. Sebuah acting dalam bentuk olah tubuh estetis tanpa suara.

Pergulatan dan pertemanan dengan mimer dan performer lain telah membawa pelaku pada sebuah pilihan. Pantomime pada saat itu secara mainstream telah menyebabkan pelaku kesulitan melakukan ekspresi. Kemiskinan dalam bentuk materi menyebabkan pelaku tidak mampu menyewa sebuah gedung untuk melakukan pertunjukan, menghasilkan ide kreatif untuk menemukan alternatif ruang pertunjukan baru. Maka pilihan pentas di jalan menjadi gagasan baru yang mengilhami pelaku untuk ber pantomime dengan panggung ruang terbuka yang bisa dilihat semua orang. Jalan dianggap pelaku sebagai tempat yang ramah, mampu mengakomodir kebentingan banyak pihak. Disatu sisi jalan (jalanan) mampu memberikan pandangan eksploratif bagi pelaku untuk berkreasi, meski ada persaingan disana. Namun justru persaingan itulah yang menjadikan sebuah gagasan estetis serta mampu menumbuhkan kesepahaman antara pelaku, teman-teman satu komunitas serta pengguna jalan lainnya.

Moment awal bersama beberapa perupa dari AKSERI. Yaitu menjadi opening act pameran lukisan di kawasan pasar ngasem, adalah titik awal pelaku mencoba terus menggali dan ber-eksplorasi bagaimana ber pantomime di jalanan. Namun ternyata ini tidak mudah dan menjadi sebuah kebimbangan ketika seorang tokoh mimer melakukan kritik terhadap apa yang dilakukan pelaku. Kritik bahwa apa yang dilakukan pelaku bukanlah sebuah pantomime, melainkan performance biasa. Pada saat itu sang Tokoh sedang memperjuangkan pementasan Pantomime yang tematis, ruang pertunjukan yang benar dengan penonton yang focus. Pelaku bimbang dan kecewa ketika stigma yang berlaku bagi dirinya adalah pantomime yang setengah-tengah dan dianggap memalukan pantomime sebagai pertunjukan estetik. Stigma itu cukup mengganggu proses kreatif pelaku dan teman-teman lain. Namun seorang teman yang berprofesi sebagai perupa, penganut ‘street art’ telah menyadarkan pelaku. Beliau menunjukan Foto dan gambar-gambar aktifitas mimer dari sebuah majalah perancis. Gambar suatu pertunjukan pantomime tanpa panggung dan penonton. Disitu pelaku mendapati tokoh besar Marcell Marceu yang dianggap sebagai ikon pantomime dunia. Yang menarik teman pelaku tadi memberi sebuah komentar provokatif yang menggugah, “kalau disini menyebut pentasmu sebagai pantomime itu tabu ganti istilah saja …gitu kok repot”.

Berawal dari provokasi itulah pelaku memutuskan tetap berproses tanpa memperdulikan sebutan apa bentuk pertunjukan itu nantinya. Keseringan berpentas dengan teman-teman justru melahirkan sebutan MIME on The Street yang tanpa sadar menjadi sebutan bagi kegiatan kelompok tersebut oleh teman sesama street art. Kesadaran akan kesamaan ide dan gagasan kemudian melahirkan keinginan untuk membuat sebuah komunitas bersama. Penamaan komunitasnya pun cukup unik. Berawal dari sejarah salah seorang anggota kelompok yang memiliki ketergantungan terhadap miras dan memutuskan untuk berhenti (insyaf). Pada suatu ketika teman ini mengalami over dosis minuman AO, yaitu sebuah minuman yang dalam bahasan sesama kelompok dikenal sebagai kasta terendah dalam per-mirasan. Maka lahirlah penamaan Bengkel “AO” sebagai manifestasi untuk berhenti mengkonsumsi dan berusaha berproses kreatif tanpa miras. Jalan-jalan dijogja pun untuk sesaat sempat diwarnai kegiatan kelompk ini, meski tidak terlalu heboh. Mime on the street akhirnya dijadikan pilihan utama kegiatan komunitas Bengkel AO. Mime on the street kemudian coba dikenalkan ke masyarakat umum sebagai Mime Street. Roadshow pun coba digagas oleh kelompok tersebut, salah satunya ke kota Solo dan wonosobo. Memang pada awalnya kedatangan Bengkel AO tersebut atas undangan teman-teman perupa lokal untuk meramaikan pameran lukisan idealis mereka. Namun justru dari sinilah semangat pelaku dengan Bengkel AOnya untuk menumbuh kembangkan Mime Street ini makin membuncah.

Perjalanan mime street ini juga tidak mulus. Sesuai seleksi alam komunitas ini mulai ditinggalkan beberapa anggotanya dengan berbagai alasan. Lulus kuliah dan meninggalkan jogja umumnya menjadi alasan utama selain perbedaan-perbedaan lainnya.Akhirnya ditengah ketidak pastian siklus hidup komunitas, pelaku mencoba survive untuk tetap menghidupkan mime street ini dengan beberapa upaya. Salah satu bentuk konkritnya adalah kolaborasi pelaku dengan sebuah band indie jogja yang ber-genre musik ska. Kolaborasi tersebut terinspirasi oleh penampilan band ska luar yaitu The Special. Rupanya kolaborasi tersebut mampu menarik perhatian masyarakat umum dan bisa membuat bentuk pertunjukan itu tetap eksis di kalangan komunitas indie jogja. The Alaska (nama band tersebut) ternyata mampu memberikan ruang yang cukup luas bagi pelaku. Namun efek buruknya ketika badai menghantam band tersebut, kegiatan pelaku ikut goyah. Akhirnya kerjasama kreatif tersebut dihentikan.

Semangat untuk tetap ber Mime street rupanya tidak bisa hilang. Ketika pelaku melabuhkan perjalanan hidupnya kota Bogor semangat itu tetap dibawa. Maka tahapan selanjutnya Bengkel AO hijrah ke kota ini. Pentas demi pentas dilakoni. Stasiun Bogor, Taman Topi, Air mancur, jalan Pajajaran dan sudut jalan-jalan yang ada di kota bogor menjadi sasaran pelaku untuk ber Mime Street ria. Sambutan penonton maupun masyarakat yang tak acuh serta miskin tepuk tangan, tidak menghalangi pelaku untuk terus bergerilya. MERDEKA…!!!!!!

Komunitas Nisbi: Geliat ‘Agamawan Muda’ UII Yogyakarta

Oleh: Budi Suprojo - Cepu, Jawa Tengah

Kalakone ilmu iku kanthi laku, ungkapan ini tertulis di dinding sebuah ruko sekitar Delanggu Klaten. Pemilik ruko seolah mengingatkan mereka yang melewati daerah sekitar Delanggu untuk senantiasa bersikap konsisten atas kebenaran yang diyakini. Hal ini serupa dengan adagium, meminjam salah satu isi Dasa Darma Pramuka, yang menyatakan bahwa seorang pandu harus suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Konsistensi dalam menghayati kebenaran, kebaikan dan keindahan ini juga yang sering dianjurkan pada penganut setiap agama, tidak terkecuali umat islam. Dalam kajian islam, setiap muslim pun tidak dapat lepas dari anjuran untuk beragama secara utuh. Namun untuk dapat beragama secara utuh ternyata tidak semudah seperti ketika pernyataan itu diungkapkan. Kondisi inilah yang mendorong komunitas nisbi untuk selalu ‘bergerilya’ mengajak masyarakat kampus UII untuk belajar bersama memahami dan menghayati agama secara utuh.

Komunitas nisbi adalah sekumpulan mahasiswa, dosen dan karyawan di lingkungan UII yang menaruh minat besar untuk meningkatkan pemahaman dan penghayatan sebagai penganut agama islam. Komunitas nisbi pada awalnya hanyalah grenengan mahasiswa UII yang mengalami kegelisahan spiritual. Salah satunya adalah apa yang dialami oleh Kadeko, mahasiswa FIAI UII pada tahun 2003 . Dalam benak Kadeko sering muncul pertanyaan yang menunjukkan adanya inkonsistensi sikap penganut agama, misalnya sering dijumpai kasus seorang yang telah berulang kali menunaikan ibadah haji masih juga melakukan tindak korupsi, atau kegelisahan sebagian orang yang telah mempelajari agama islam dan berupaya melaksanakan ajaran sebaik mungkin tetapi tidak juga mencapai kebehagiaan. Berangakat dari kegelisahan tersebut, Kadeko lantas melakukan ‘lelaku’, seperti mencari guru spiritual hingga membaca ulang buku-buku yang sekiranya dapat menjawab kegelisahannya. Dalam lelakunya itulah, ia mendapatkan jawaban, sebuah pencerahan.

Pengalaman spiritual yang dialami Kadeko lantas dibicarakan dengan beberapa orang di lingkungan kampus UII, mulai teman kos, teman KKN, karyawan maupun dosen. Perbincangan semakin mengerucut saat Kadeko berjumpa dengan salah seorang karyawan yang memiliki latar belakang penganut tarekat. Dari berbagai perbincangan itulah terbentuk komunitas nisbi. Meski masih dalam pencarian bentuk, setidaknya bagi komunitas ini kunci untuk meraih kebahagiaan bukanlah sesuatu yang sulit. Kebahagiaan bagi kommunitas ini dapat diraih apabila penganut agama dapat mengamalkan agama mulai dari hal-hal yang kecil. Meski berangkat dari hal-hal yang kecil, asal konsisten dan secara bertahap menambah kualitas pemahaman dan penghayatan maka jalan mencapai jalan bahagia akan terbentang luas. Pemahaman seperti ini, mungkin hal yang biasa bagi sebagian orang, tetapi proses menemukan jawaban tersebut menjadi sesuatu yang lain. Ada perbedaan yang mendasar antara mereka yang memperoleh jawaban atas persoalan hidup yang dialami dengan mereka yang menemukan kebenaran dari proses lelaku. Perbedaannya terletak pada proses ‘mengalami’. Proses ‘mengalami’ inilah yang yang senantiasa dibangun oleh komunitaas nisbi.
Proses ‘mengalami’ dalam pemahaman komunitas nisbi bukanlah hal yang sulit. Bagi mereka yang berminat untuk bergabung atau sekedar mengenal komunitas ini dapat datang pada saat mereka mengadakan pertemuan. Pertemuan diadakan minimal satu kali dalam seminggu dan diadakan pada hari selasa malam rabu atau kamis malam jum’at meski tidak menutup kemungkinan diadakan pada hari lain. Tempat pertemuan pun berpindah-pindah sesuai kesepakatan anggota. Seperti pada pertemuan-pertemuan sebelumnya, pertemuan pada kamis malam jum’at minggu pertama bualan mei 2006 di rumah Imam Samroni pun tidak jauh berbeda. Pada malam itu, selepas azan isya, satu persatu anggota mulai datang. Tidak jauh berbeda dengan pertemuan sebelumnya, malam itu selain anggota tetap, hadir juga beberapa wajah baru dalam pertemuan. Malam itu, pertemuan dimulai dengan perbincangan seputar komunitas nisbi dan perkembangannya. Setelah itu kegiatan selanjutnya adalah shalat fardlu berjamaah. Bagi mereka yang belum menjadi anggota, shalat jamaah adalah tahap inisiasi, meski bagi mereka yang belum berminat atau sekedar ingin tahu dapat tinggal diam di tempat. Pada saat shalat inilah, mereka yang semula memakai jeans belel, atau celana hipster dan baju ketat maupun santri bersarung dan baju koko dengan peci miringnya berada dalam perjumpaan yang disebut ‘mengalami’ bersama lewat shalat berjamaah. Doa bersama merupakan tahap lanjut dari proses inisiasi. Proses paling menarik dari pertemuan ini terletak pada tahap berbagi pengalaman saat shalat.

Dalam proses berbagi pengalaman spiritual ini posisi masing-masing yang hadir adalah setara, hal ini berbeda dengan tarekat yang masih menggunakan terminologi guru- murid. Dalam komunitas nisbi, setiap anggota jamaah adalah guru sekaligus murid. Relasi seperti inilah yang membedakan komunitas nisbi dengan tarekat pada umumnya. Dibukanya ruang dialog inilah yang menarik sebagian masyarakat kampus UII. Oleh karena itu menjadi sebuah kewajaran manakala perkembangan komunitas ini cukup pesat. Hal ini terlihat jelas dengan melihat jumlah anggota tetap mereka, meski baru berusia satu setengah tahun, tidak kurang dari tujuh puluh orang bergabung dalam komunitas ini. Anggota komunitas ini pun beragam, mulai dari mahasiswa yang lekat dengan dunia hura-hura, hingga mereka yang aktif dalam lembaga dakwah kampus, dosen dan karyawan. Ikatan kekeluargaan yang dibangun dalam komunitas nisbi inilah yang membuat anggota komunitas selalu berupaya menyempatkan diri berbagi pengalaman dan belajar bersama disela-sela kesibukan anggota melaksanakan kuliah dengan berbagai macam tugas maupun aktivitas lainnya.

Dalam upaya mengembangkan komunitas nisbi, Kadeko pun ‘berjualan’ di lingkungan kampus UII, agar secara keilmuan apa yang dilakukan komunitas ini dapat juga dialami oleh orang lain dan diterima masyarakat kampus yang begitu mengedepankan rasionalitas. Dari berbagai perbincangan ini, muncullah gagasan membuat ‘sekolah tuhan’. Gagasan membuat sekolah tuhan ini ternyata menuai banyak kritik dari masyarakat kampus UII, belum lagi kecurigaan orang bahwa komuitas ini hendak mendirikan tarekat baru yang menyesatkan. Kesulitan yang dialami komunitas ini dalam membuat ‘sekolah tuhan’ berkaitan dengan persoalan pengalaman spiritual yang cenderung personal dan sulit diverifikasi, apalagi menyusun dalam bentuk kurikulum. Meskipun demikian, upaya komunitas nisbi untuk berbagi proses ‘mengalami’ dengan orang lain tidak jua surut, bukankah beserta kesulitan itu kemudahan(?).

Tukang Esek-Esek

Oleh: Fuad Hasyim, Jepara

Jepara kota ukir yang sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian adalah berkayu. Yang mana bidang usahanya adalah bergerak pengolahan kayu. Menurut sejarah kuno bahwa masyarakat jepara mempunyai spesialisasi keahlian di bidang ukir kayu. Dan konon sepsialisasi ini sudah mendarah daging kepada masyarakat Jepara. Sengga keahlian mengukir ini adalah merupakan bakat alam yang sudah dimiliki oleh masyarakat jepara pada umumnya.

Akan tetapi seiring dalam perjalanan masa keahlian mengukir mengalami perkembangan-perkembangan. Sampai pada akhir-akhir abad ke 20 masyarakat jepara dapat menguasai kemampuan mengukir patung. Bagitu juga dalam aspek industri Jepara sudah mulai dirambah oleh meuble karena tuntutan untuk memenuhi pasar bebas dunia permebelan.

Diantara beberapa kategori produk Jepara adalah berupa meuble, pernak-pernik souvernir, relief, furniture dan lain sebagainya. Menurut data yang pernah saya dengar dari ketua HPKJ (Himpunan Pengusaha Kayu Jati) Haji Anas, dia mengatakan bahwa prosentase perekonomian orang jepara banyak didominasi oleh para bekerja dibidang usaha kayu. Dengan jumlah sebesar 60%. Adapun pengelompokan dari para pekerja yang bergerak dibidang perkayuan adalah sebagai berikut.:
Yang pertama mereka yang bergerak di bidang bahan baku. Yaitu yang berupa bahan dasar kayu yang berbentuk masih glondongan atau dapat pula disebut balok. Balok atau glondongan bisa berasal dari perusahaan resmi negara (PERHUTANI atau dengan bahasa lain TPK). Bisa pula berasal dari simpan pribadi kayu masyarakat yang mempunyai kebun kayu. Bahan kayu itu sendiri bermacam-mcam jenisnya, ada kayu jati, kayu mahoni, kayu suren, kayu sono, dan masih banyak jenis kayu lainnya yang dapat dijadikan kayu alternative untuk bahan baku meuble.

Yang kedua adalah para pengrajin dan para pengusaha. Pengrajin meuble atau ukir adalah orang yang bergerak diwilayah produksi. Mereka mengolah bahan baku menjadi barang jadi atau setangah jadi. Dan yang ada pada umumnya para pengrajin ini belum tentu memasarkan langsung kepada para konsumen pemakai meuble atau pemakai barang kerajian ukir. Yang berarti mereka adalah pelaku produksi yang bergerak murni dibidang produksii furniture.
Yang ketiga adalah para pekerja (buruh). Diwilayah pengelompokan ini para pekerja atau buruh ini kami kelompokan kedalam dua kelompok, dari proses produksi yaitu yang pertama adalah para pengrajin atau pembuat meuble, juga para pemahat ukiran dan relief yang mengolah bahan baku dari yang masih glondongan yang kemudian diolah dan potong-potong sedemikan rupa sehingga menjadi produk jadi atau produk yang masih setengah jadi. Produk itu bisa berupa wujud kursi, meja, lemari dan lain sebagainya. Barang yang sudah jadi ini sebagian ada yang masih membutuhkan sentuhan-sentuhan akhir dan juga barang kali juga tidak membutuhkan sentuhan lagi karena mungkin yang dimaksudkan adalah barang yang natural memang mentah tanpa finishing tanpa memerlukan sentuhan lagi. Yang kedua adalah orang-orang yang dalam hal ini bergrak dibidang finishing atau dalam tahap penyelesaian produk meuble itu sendiri mulai dari tahap penghalusan atau pengamplasan tahap pewarnaan dan tahap pengkilapan atau pemlituran dengan sirlak, barangkali yang agak lebih mahal dan tahan lama bisa dengan menggunakan jenis melamin yang berfungsi untuk melindungi sekaligus mengkilapkan produk.

Tukang esek-esek

Namun dalam hal ini saya akan banyak lebih menekankan untuk memaparkan akan persoalan orang-orang atau para pekerja yang bergerak dibidang pengamplasan. Khususnya dalam aktifitasnya sehari-hari dan suka duka yang mereka alami dalam menjalankan profesi mereka sehari-hari sebagai tukang ngamplas atau lebih terkenal dilingkungan orang jepara sebutan tukang esek-esek. Karena yang banyak berprofesi sebagai tukang ngamplas adalah perempuan. Karena menurut perkataan orang Jepara pekerjaan yang paing mudah esek-esek atau ngamplas. Pekerjaan ini tidak banyak membutuhkan skill dan teknik yang njlimet cukup untuk menggerakkan tangan yang dilapisi oleh amplas kemudian digosokkan maka jalanlah pekerjaan ngamplas. Dari sinilah menurut saya yang layak sekaligus menarik untuk dikaji dan ditelusuri. Lha kenapa tidak…?

Karena menurut kami lika-liku yang dialami oleh oleh para tukang ngamplas sebagai pekerja yang berhak untuk mendapatkan perlakuan yang layak, sepadan sering kali mendapatkan hambatan-hambatan. Dan tentu saja hambatan itu bukan atas perlakuan yang ditimbulkan oleh polah dan laku para tukang ngamplas itu sendiri akan tetapi memang perlakuan itu di sebabkan oleh orang-orang yang dekat dengan relasi kerja dia. Dalam ini kami mengklompokkan kedalam beberapa pelaku atau aktor. Yang pertama adalah kelompok pengusaha atau para bos-bos meuble, yang kedua adalah para pelaku kebijakan di wilayah public dalam hal ini diwakili oleh pemerintah jepara serta yang ketiga lingkungan kerja tempat mereka bekerja mencari nafkah sehari-hari.

Bermula dari latar belakang para tukang ngamplas itu sendiri. Kebanyakan mereka adalah perempuan yang rata-rata pendidikan adalah minim dan tidak mempunyai skill tertentu. Dan kebanyakan mereka berasal dari kalangan pinggiran atau ndeso. Pada umumnya mereka hanya berpendidikan sederajat SMA atau bayak juga yang hanya lulusan SD. Adapun tempat mereka tinggal banyak sekali yang berasal dari daerah pinggiran, yang agak jauh mlosok untuk menuju ke daerah perkotaan.

Adapun lokasi untuk mereka bekerja adalah di gudang-gudang yang ada di kota atau yang dekat dengan kota. Sebagian gudang-gudang ada juga yang berada di daerah pedesaan. Karena memang lahan yang ada di perkotaan Jepara sudah mulai mahal dan langka, sehingga perlu perluasan atau relokasi di daerah pinggiran atau desa.dan rata-rata gudang yang ada di daerah pingiran banyak dimiliki oleh penguasaha yang berdosimili di perkotaan.

Di wilayah pengepulan barang yaitu gudang atau tempat barang-barang meuble ditransitkan yang kemudian menjalani proses finishing. Tukang ngamplas tidak terlalu mendapatkan standar pelayanan ataupun kelayakan dalam bekerja. Termasuk juga didalamnya adalah keamanan dalam bekerja. Misalnya bahwa pekerjaan esek-esek adalah pekerjaan yang kotor sangat penuh dengan debu ampas gosokan kayu. Yang mungkin akan sangat berpengaruh terhadap kenyamanan, kesehatan para tukang ngamplas namun hal ini tidak dihiraukan oleh para pengusaha atau pengepul. Barangkali kalo ini berlaku dalam pengepul atau pengusaha kayu skala kecil yang paling-paling hanya membutuhkan tukang ngamplas satu atau dua mungkin tidak menjadi masalah. Yang menjadi masalah adalah ketika itu terjadi dalam gudang besar yang menampung tukang ngamplas puluhan bahkan ratusan tukang ngamplas maka ini merupakan masalah yang besar yang perlu mendapatkan perhatian oleh para pemilik gudang.
Belum lagi dalam persoalan batas-batas laki-laki dan perempuan ketika pihak pengusaha atau pengepul barang yang memfinising tadi juga mempunyai buruh ngamplas laki-laki. Mereka para pengusaha atau pemilik gudang tidak memperhatikan persoalan pembedaan dalam hal MCK atau tempat peristirahatan menurut saya sangat memperihatinkan. Atau mungkin persoalan akan kebutuhan batas dan sekat tempat peristirahatan atau tampat ganti telesan juga tempat leleh bagi buruh perempuan dan buruh laki-laki dalam sebuah gudang. Sehingga dalam sehariannya kebutuhan akan ganti dan MCK para buruh bercampur aduk antara laki dan perempuan. Sehingga dari sini sedikit demi sedikit terjadi kelunturan norma-norma kesusilaan masyarakat jepara khususnya pada segment tukang ngamplas tertentu. Berulang kali perlakuan yang tidak senonoh terjadi di lingkungan gudang namun tetap saja tidak perhatian.

Pelecehan-pelecehan yang masih dan rutin berlaku diwilayah pergudangan menjadi hal biasa. Mungkin ini juga karena para tukang ngamplas itu sendiri memang mengiyakan atau permisif dan beberap para pekerja malah mencari-cari kesempatan disela-sela peristirahatan kerja. Mereka sama sekali tidak merasakan ada sesuatu hal yang tabu atau risi ketika perlakuan-perlakuan kayak begini harus terus berlaku diwilayah pergudangan. Malah-malah mereka menganggapnya hal yang lumrah ini menjadi sebuah kewajaran atau hal yang biasa saja. Dan mereka menganggapnya tidak perlu untuk ditanggapi atau sampai malah di kritisi, atau mungkin didemokan kepada pemilik gudang untuk di tata-ulang bentuk bengkelnya agar pemilik gudang memberi perhatian dengan memberi sekat sebagai kebutuhan privasi pekerja esek-esek .

Bagi masyarakat sekitar permasalahan ini menjadikan kegerahan dan manimbulkan rasa risi. Apalagi norma-norma yang dianut dan berlaku dalam masyarakat masih kental. Dan sebenarnya memang kota Jepara sendiri menurut saya masih dalam kategori kota santri sebagaimana kota-kota disekitar pesisir utara karisidenan Pati yang banyak masyarakatanya berpendidikan pesantren. Saya sendiri sebagai orang jepara juga merasakan risi ketika mendengar cerita-cerita tentang kisah para tukang esek-esek yang bercampur-bawur antara laki-laki dengan perempuan. Apalagi perlakuan kayak gitu jelas kontras dengan adat ketimuran atau adat jawa pada khususnya.

Contoh-contoh seperti diatas menjadi fenomena yang menarik ketika masyarakat Jepara yang dulunya terkenal sangat menjujung tinggi norma-norma sosial-agama menjadi drastis berubah karena gencarnya serangan ekonomi melalui industri permebelan. Dalam benak saya apakah perubahan kota menjadi kota industri harus diiringi dengan perubahan budaya lokal yang menurut saya sangat tidak perlu. Atau mungkin hanya masyarakat pelaku industri yaitu pemilik gudang beserta para tukang ngamplasnya tidak siap menerima efek-efek dari perubahan masyarakat menuju masyarakat industri.

Bagi masyarakat jepara pekerjaan esek-esek adalah pekerjaan yang dianggap pekerjaan malas. Karena masyarakat jepara ngamplas identik dengan kerjaan orang malas, orang ndak punya skill, orang kepentok kreatifitasnya atau parahnya lagi orang yang kepentok akan persoalan hidup. Apalagi realitas ekonomi dijepara banyak orang Jepara mengatakan cari kerjaan lagi sulit, susah cari kerjaan yang selain ngamplas dan lain sebagainya. Walaupun kerjaan ngamplas adalah kerjaan yang kotor, mereka menerima karena tidak ada pilihan lain selain esek-esek kayu. Bagi pemula kerjaan ngamplas bergajikan Rp 7500. Bilamana sudah agak lama bekerja maka gaji mereka dapat naik menjadi sampai Rp 12500 itu saja mereka sudah bertahun tahun bekerja ngamplas. Dan memang realitas kehidupan mereka sehari jelas saja bukan orang yang yang berstatus ekonomi menengah.

Dan menurut kebanyakan orang jepara dengan masa sekarang, gaji 7500 sangatlah tidak layak untuk dijalani pekerjaan ngamplas. Apalagi pernah ada kejadian keti para buruh ngamplas yang lumayan jauh tempat kerjanya karena tempat tinggal mereka berada dilereng muria dekat dengat kudus dan mereka harus datang saban hari kedaerah perkotaan jepara. Mereka saban harinya datang ketempat kerja dengan mnggunakan angkutan berplat hitam milik masyarakat sekitar karena jalur angkutan dari tempat tinggal mereka kearah tempat kerja tidak ada angkutan resmi plat kuning. Dan mereka naik angkutan plat hitam langsung dihantarkan ketempat kerja. Sehingga angkutan plat kuning merasa konsumen angkutannya diambil oleh orang plat hitam yang seharusnya mereka tidak boleh untuk ngompreng.
Akhirnya plat kuning demo kepada dinas perhubungan dan ke DPRD Jepara dan itu respon baik oleh keduanya. Akhirnya dari pihak para tukang ngamplas tidak terima sehingga juga mengadakan perlawanan serta mengadu kepada Dishub dan DPRD. Karena mereka berhitung bahwa gaji Rp 7500 harus digunakan untuk membayar angkutan dua kali pulang dan pergi, sehingga menjadi empat kali pindah-pindah angkutan yang artinya pengamplas harus membayar 1500x4=Rp 6000 kemudian gaji mereka Rp 7500-6000 = Rp 1500 sehingga gaji Rp 1500 menjadi gaji bersih. Kalo dihitung-hitung kebutuhan sehari umumnya masyarakat bawah dengan gaji sebegitu kecil sangat tidak mungkin. Akhirnya para tukang ngamplas dalam dunia peresek-esekannya telah mendapatkan banyak cerita kehidupan mulai dari persoalan sosial, ekonomi, politik dan budaya sampai esek-esek.

Keseharian Berkota dan Ketegangan di ‘Tapal Batas’

Oleh: Tarlen Handayani
tulisan ini dimuat juga di blog: www.vitarlenology.blogspot.com

Kesadaran hidup di ‘tapal batas’ baru saya rasakan beberapa tahun terakhir ini, ketika aktivitas sehari-hari, saya mulai dengan menyebrangi jalan kereta api, yang memisahkan Kebon Pisang dan Gudang Selatan. Saat itulah saya merasakan hidup saya seperti bergerak melintasi dua wilayah dengan ketegangannya masing-masing. Merasakan kontras yang simultan berulang setiap hari. Merasakan relasi saya dan kota ini dengan perasaan benci dan cinta sekaligus.

***

Sejak lahir sampai saat ini, saya tinggal di sebuah perkampungan bernama Kebon Pisang. Perkampungan yang konon kabarnya, menurut para sesepuh, dulunya merupakan daerah tak bertuan dan meruoakan ‘kebon pisang’ dalam arti sesungguhnya. Perkampungan ini letaknya persis di antara pintu kereta api Jalan Ahmad Yani dan Jalan Sunda, di tepi jalan kereta api jalur barat ke timur dan timur ke barat. Pada mulanya perkampungan ini berkembang dan terbentuk dari komunitas Jawa yang berdagang di Pasar Kosambi. Dalam buku “Semerbak Bunga di Bandung Raya”, Haryoto Kunto sempat menyebutkan, bahwa komunitas Jawa di sekitar Pasar Kosambi terbentuk dari para pelarian Perang Jawa pada pertengahan abad 19.

Di seberang Kebon Pisang, terdapat deretan gudang-gudang militer, membentang dari utara ke selatan, sambung menyambung dengan markas KODIM (Komando Distrik Militer)K KODAM III Siliwangi dan bagian Peralatan KODAM III SILIWANGI. Gudang-gudang itu seperti sebuah ‘benteng pertahanan’ di tengah kota. Membentuk dunia lain yang dibatasi dengan tegas oleh jalan kereta api.Kompleks militer yang rigid dan teratur secara ruang, masih bisa dirasakan dan dialami hingga kini. Namun aura militerisme yang terasa kuat sampai pertengahan tahun 1990-an, lambat laun berbaur dengan arus komersialisme yang mulai merubah wajah dan fungsi kompleks militer itu dalam sepuluh tahun terakhir ini.

Pan Schomper, pemilik Hotel Naripan di masa kolonial dulu, menulis dalam bukunya ‘Chaos After Paradise, Selamat Tinggal Hindia: Janjinya Seorang Pedagang Telur’, bahwa pintu kereta api di Jalan Ahmad Yani, menjadi garis demarkasi antara wilayah pribumi dan non pribumi (baca: orang Eropa). Jika ada orang pribumi berkeliaran di wilayah orang Eropa lewat jam malam, akan terkena hukuman yang sangat berat. Pada masa penjajahan Jepang, daerah Cihapit sampai Gudang Utara, menjadi kamp konsentrasi dalam kota bagi para interniran Belanda.

Sementara di belakang Kebon Pisang, sampai akhir tahun 90-an, terdapat Asrama Polisi (Aspol) yang kini berubah menjadi ITC (International Trade Center) Kosambi. Saya masih ingat, ada pagar kawat berduri dan tembok yang mengelilingi asrama polisi itu. Disekeliling tembok, parit kecil memisahkan Kebon Pisang dan asrama polisi. Pintu masuk ke asrama, bisa melalui dua pintu: gerbang utamanya di dekat pasar Kosambi yang menghadap Jalan Baranangsiang, atau lewat jalan kecil yang merupakan jalan pintas dari Kebon Pisang ke Aspol.

Di tahun 80-an, saat saya masih kanak-kanak, kemeriahan 17 Agustus-an, seringkali berubah menjadi ketegangan saat terjadi perkelahian antara Aspol dan asrama ARHANUD (Artileri Pertahanan Udara) TNI-AD yang terletak di daerah jalan Menado. Penyebab perkelahian itu, biasanya sederhana saja. Salah satu pihak yang kalah dalam kompetisi sepak bola 17 Agustus-an, se Kecamatan Bandung Wetan (sebelum diganti jadi Kecamatan Sumur Bandung), merasa dicurangi. Saat itu, Asrama ARHANUD sering kali, menjadi pihak yang lebih ditakuti. Secara geografis dan politis, pihak asrama ARHANUD lebih diuntungkan. Letaknya yang berada di tengah-tengah kompleks militer yang dijaga ketat, membuat Asrama ARHANUD sulit untuk diserang terlebih dahulu. Sementara Asrama ARHANUD seringkali menyerang Aspol, dengan kebon pisang sebagai pintu masuknya. Akibatnya, yang menanggung kerugian lebih banyak dari tawuran dua asrama ini adalah warga Kebon Pisang. Selain teror mental, lemparan batu yang merusak kaca-kaca rumah, harus di hadapi, tanpa bisa meminta ganti rugi. Tawuran ini, sempat menjadi kegiatan rutin yang harus di hadapi penduduk Kebon Pisang dalam kurun waktu tertentu di tahun 80-an.

Diawal tahun 80-an, pemerintah Orde Baru menerapkan banyak kebijakan yang sangat militeristik, seperti ABRI Masuk Desa, UU Subversib (UU no 11/PPs/1983). Akibatnya aktivitas militer terasa mendominasi kehidupan saya sejak saya bersekolah di SD Patrakomala, yang terletak di tengah-tengah kompleks militer, juga di Kebon Pisang dan sekitarnya pada masa itu. Tak jarang, di tengah malam, sepeleton prajurit, latihan baris berbaris sambil menyanyikan lagu-lagu mars ABRI. Latihan peperangan di dalam kota, parade perlengkapan militer, seperti tank, mobil-mobil tempur, berderet di sepanjang Gudang Selatan, pada peringatan-peringatan tertentu di masa itu. Seolah ingin mempertontonkan kekuatan militer yang selalu siaga menjaga keamanan dan stabilitas negara. Kondisi siaga itu, di satu sisi terasa sebagai teror dan ancaman pada masyarakat sipil di sekitarnya, bahwa barang siapa menentang penguasa, harus berhadapan dengan kekuatan militer sebagai penguasa wilayah. Dan KODIM, pada masa itu, menjadi jaminan keamanan warga. Jika ada preman kampung melakukan tindak kriminal, warga Kebon Pisang, cukup membawa mereka ke KODIM untuk mengganjar perbuatan si pembuat onar. Namun seiring dengan perubahan situasi politik dan peran militer, warna militeristik di Gudang Selatan dan sekitarnya lambat laun memudar. Tapal batas menjadi wilayah status quo yang saat ini lebih didominasi oleh kepentingan para pemilik modal.

Perubahan dari situasi serba rigid ke kondisi ‘chaotic ‘, sempat pula saya alami saat duduk di bangku SMP pada akhir 80-an sampai awal 90-an. Sekolah saya pada saat itu, terletak persis di belakang Stasiun Cikudapateuh. Teman-teman saya mayoritas berasal dari daerah-daerah padat penduduk dengan tingkat kriminalitas dan ketegangan cukup tinggi. Seperti Cibangkong, Cukang Jati, Kosambi, Galunggung, Gatot Subroto, Karees, Cinta Asih, Cicadas. Kisah-kisah tentang pembunuhan, perkelahian, perampokan, kekerasan, tindak kriminalitas lain, kehebatan preman-preman setempat, menjadi urban legend yang mewarnai keseharian masa remaja saya. Dan menjadi ketegangan psikologis yang saya alami dalam berkota.

***
Ketegangan di ‘tapal batas’_Gudang Selatan-Kebon Pisang, pada kondisi sekarang, tidak lagi berupa ketegangan-ketegangan fisik seperti masa-masa tawuran antar asrama di tahun 80-an. Ketegangan itu kini terasa lebih laten, karena terkait dengan konflik kepentingan. Komersialisasi lahan memegang kendali perubahan pada kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini.

‘Benteng tak bertuan’ di sekeliling Gudang Utara - Gudang Selatan, yang tidak lagi digunakan untuk kepentingan militer itu, kini terkavling-kavling sebagai wilayah komersil. Mulai dari gudang barang Carefour, kantor untuk lokal clothing 347/eat, bengkel Land Rover, workshop funiture, pangkalan taxi Gemah Ripah, pabrik obat, sampai rumah makan. Perubahan fungsi bangunan-bangunan itu, merubah kompleks militer yang rigid, menjadi lebih beragam dan vis a vis dengan perubahan yang juga terjadi di jalur ‘tak bertuan’ sepanjang rel kereta api.

Jalur tak bertuan ini, selain menjadi tempat pembuangan sampah dan tempat pemukiman para pemulung, dalam lima tahun belakangan ini, bermunculan ruang-ruang usaha seperti bengkel, tempat sablon, atau rumah-rumah liar yang disewakan pada para pendatang yang entah dari mana asalnya. Wilayah ini diduduki oleh pihak-pihak yang merasa berhak menempatinya tanpa status kepemilikan dan wilayah administratif yang jelas, apakah masuk ke wilayah Kelurahan Kebon Pisang, atau Kelurahan Merdeka. Wilayah yang seharusnya menjadi jalur hijau jalan kereta api, malah menjadi tapal batas baru di antara Kebon Pisang dan Gudang Selatan. Sempat buldoser pemerintah datang untuk menertibkan wilayah itu. Namun tidak berhasil, karena penghuni dan pihak-pihak yang berkepentingan menghalangi upaya itu. Entah sampai kapan, wilayah tak bertuan ini akan bertahan. Desas-desus penggusuran, muncul seperti bom yang ditanam dan bisa meledak kapan saja tanpa bisa dicegah.

***
Dari hari ke hari, ketegangan-ketegangan tapal batas, tidak lagi menjadi kontras yang mencolok bagi saya. Bandung yang saya alami, kini berubah begitu cepat melampau kemampuan daya dukungnya sendiri. Dan melahirkan ketegangan-ketegangan baru di wilayah yang semula menjadi negasi wilayah tapal batas.

Kesadaran bahwa ketegangan telah menjadi keseharian yang saya jalani dan saya pahami selama ini, muncul menjadi skala toleransi yang bisa bergerak lentur dari titik paling rendah sampai titik tertinggi, dalam merespon semua perubahan ini. Toleransi inilah yang pada akhirnya memberi cara bagi saya untuk bisa menikmati Bandung dengan kecintaan dan kebencian sekaligus.

Sisi Gelap Universitas: Lunturnya Penggunaan Bahasa Daerah sebagai Social Cost Adanya Universitas

Oleh: Firdaus Putra Aditama, Purwokerto

“Dialek Banyumasan kini mulai ditinggalkan,

sebagian masyarakat merasa malu mempergunakannya.”
[Soemarno, Wartawan RRI]

I

Purwokerto, adalah salah satu kota tujuan bagi pelajar-pelajar paska kelulusan SMA untuk meneruskan pendidikannya. Purwokerto juga terlihat sebagai jantung dari Banyumas itu sendiri. Kota administratif di mana seluruh kegiatan organisasional, pemerintahan berjalan. Tidak heran jika fasilitas yang ada cukup terjamin. Mulai dari SD favorit sampai SMA favorit berada di wilayah ini. Pun sebaran perguruan tinggi, sekolah tinggi, akademi keahlian dan semacamnya yang tidak terlalu jauh satu dengan lainnya.

Paling tidak di kota yang terkenal dengan kenthongan-nya ini dapat kita lihat sederatan nama universitas, yang paling besar adalah Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED), Universitas Wijaya Kusuma (UNWIKU), STAIN Purwokerto, Universitas Muhammadiyyah Purwokerto (UMP), STT Wiwaratama, dan sederer Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) yang bergerak pada ranah bahasa, komputer atau pun soft skill lainnya. Yang jelas, jumlah lembaga pendidikan baik formal maupun non formal di kota kecil ini relatif banyak.

Lalu, tulisan ini sendiri mengambil engel di seputar lingkungan UNSOED di mana saya include di dalamnya. Paling tidak potretan realitas ini sedikit-banyak adalah potretan yang sehari-hari saya jumpai; ketika kuliah, ketika nongkrong, ketika bergelut dengan keluarga ibu kos, ketika mencari nasi rames, ketika jalan di sepanjang Jalan Kampus dan seterusnya. Meskipun apa yang saya sampaikan sepenuhya subyektif, tetapi, paling tidak potretan semacam ini juga pernah singgah di pembicaraan santai satu orang dengan yang lainnya [intersubyektif].

II

Memberi judul “Sisi Gelap Universitas” tentunya saya tidak sedang mengekor Rita Abrahamsen dengan “Sisi Gelap Pembangunan”nya. Hanya saja, saya rasa judul tersebut cukup menggambarkan apa-apa yang akan saya sampaikan. Pertama, bahwa setiap perubahan pasti akan memiliki sisi degresifnya yang kurang produktif bagi masyarakat. Namun, perubahan sosial juga tidak harus selalu dipandang dengan nada minor, sisi degresif dari perubahan menjadi wajar ketika kita melihatnya sebagi bentuk social cost yang harus dikeluarkan untuk membeli satu atau banyak blue print.

Dalam konteks ini, adanya universitas (UNSOED) yang berdiri pada 1962, sedikit-banyak juga mempunyai sisi gelapnya yang kadang tak terasakan. Pada titik kebudayaan, kita bisa mengambil satu kasus, misalnya penggunaan bahasa daerah (Banyumas) yang semakin luntur karena terpaan budaya warga pendatang. Dalam keseharian, khususnya di seputar lingkungan kampus, warga setempat sedikit-banyak sudah menggunakan bahas nasional atau bahasa Indonesia. Tentu saja hal ini dapat dipahami karena dalam keseharian mereka bergelut dengan warga pendatang. Agar tidak terjadi roaming bahasa, maka bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar yang tepat untuk keseharian.

Hal di atas tentunya tidak akan terlalu bermasalah ketika terjadi pada interaksi antara pendatang dengan pribumi. Akan tetapi, penggunaan bahasa Indonesia lambat-laun ternyata meluas pada interaksi pribumi dengan pribumi. Bahkan antara anak dengan orang tua pribumi sekalipun (keluarga). Hal ini senada dengan apa yang ditulis Soemarno, “Anak-anak sudah dididik memakai bahasa Indonesia sejak kecil. Padahal, seharusnya bahasa ibu (Banyumasan) tetap penting untuk diajarkan”. Artinya, benturan dua kebudayaan ini berjalan secara a-simetris. Karena sedikit dari warga pendatang yang mampu berbahasa Banyumasan.
Sedangkan banyak dari warga pribmi yang mampu menggunakan bahasa Indonesia, meskipun masih dengan dialek khas Banyumasnya.

Benturan yang a-simetris ini pada gilirannya akan melahirkan homogenisasi kebudayaan, di mana kebudayaan pribumi lantas tidak mampu melakukan tawar-menawar dengan kebudayaan pendatang. Selain karena adanya universitas yang berimplikasi pada banyaknya warga pendatang memasuki kawasan Purwokerto dan umumnya Banyumas, sektor pariwisata yang ada di Banyumas sedikit-banyak juga berpengaruh, kawasan pariwisata Baturraden. Akan tetapi, kalau boleh saya berpendapat, gerak material yang cepat di Purwokero pun Banyumas lebih disebabkan oleh adanya banyaknya universitas. Kita dapat umpakan bahwa pelajar, mahasiswa dan sebagainya adalah ‘sapi perah’ yang tidak menghasilkan apa-apa [secara ekonomis], bahkan justru mereka sumber susu yang setap hari diperah oleh warga pribumi; makan sehari-hari, kos, toko, warung, konter hp, rental dll.

Penggunaan bahasa daerah yang mengalami penurunan ini terbukti pada pemilihan Kakang-Mbekayu Banyumas, rata-rata peserta yang nota-benenya penduduk asli kurang mampu menggunakan bahasa ibu mereka. Seperti apa yang dicatat oleh Kedaulatan-Rakyat, Sebagian besar muda-mudi usia SMA-Mahasiswa Kabupaten Banyumas rata-rata kurang memahami dan menghargai hasil seni-budaya Banyumasan. Hal itu terbukti ketika 30 peserta Pemilihan Kakang Mbekayu Fatmaba Ajibarang, Banyumas tak satupun yang memenuhi syarat lancar berbahasa Jawa Banyumasan. Bahkan mereka juga kurang tahu tentang jenis kesenian/budaya Banyumasan, seperti seni ronggeng, calung, atau begalan. Anak-anak muda Banyumas sekarang ini ternyata telah masuk dalam format ‘gegar budaya’. Artinya, mereka lebih gandrung dan patuh pada budaya manca seperti rambut disemir pirang, nonton CD film barat, main musik trend barat ketimbang belajar bermain musik tradisi Banyumasan seperti calung, maupun tembang-tembang Banyumasan. Berbahasa mereka juga lebih suka menggunakan Bahasa Indonesia dialek Jakarta.

Pertanyaan mendasar tang relevan untuk diajukan, mengapa hal tersebut terjadi? Tentunya kita akan sepakat bahwa media sangat berperan penting, tetapi jika Anda berada di kawasan Purwokerto sendiri, Anda akan mengetahui bahwa hal tersebut tidak deterministik media. Pembauran antara warga pendatang dengan pribumi justru akan lebih kentara sebagai faktor yang dominan. Bisa kita lihat, banyak dari media yang ada di Purwokerto atau Banyumas itu sendiri telah ‘dikuasai’ oleh warga pendatang. Konkritnya, di radio-radio, banyak penyiar yang bukan warga pribumi, karena dialek Bnayumas yang ngapak dianggap kurang marketable. Ketika banyak penyiar radio yang menggunakan simbol-simbol budaya populer, maka audien dengan sendirinya sedikit-banyak akan mengimitasinya. Proses imitasi ini dipercepat dengan rongrongan media lain, majalah, internet dan semacamnya.

Purwokerto sendiri menurut saya dalam tempo 10-15 tahun mendatang tidak akan beda jauh dengan kota besar lainnya, misal saja Semarang. Berapa persenkah budaya asli Semarang tersisa? Sedikit. Demikian pula dengan Purwokerto dengan adanya banyak universitas, artinya akses mobilitas penduduk dari luar kota ke kota Purwokerto semakin cepat. Selain dari penggunaan bahasa ini, kita juga dapat melihat pergaulan muda-mudinya. Dengan adanya kos-kosan, pergaulan muda-mudi warga pribumi juga menjadi berubah. Masyarakat menjadi permisif dengan pergaulan bebas a la mahasiswa, dan akhirnya muda-mudi pribumi pun demikian.

Dulu, ketika saya baru satu tahun di Purwoketo, saya sempat memuji kota tersebut sebagai kota yang resistensinya cukup tinggi terhadap serangan global. Akan tetapi, nampaknya saya harus merubah penilaian, karena Purwokerto ternyata sama saja dengan kota-kota lainnya. Bukan berarti Purwokerto ‘kalah’ berhadapan dengan ‘gegar budaya’ global, akan tetapi ‘musuh’ kota kecil ini terlalu besar. Jadi, pantas jika Purwokerto KO. Berjalan-jalan ke Purwokerto tidak akan berbeda jauh dengan ke Semarang atau Yogyakarta; hotel, restoran, diskotik, bilyard, lokalisasi, supermarket, fast food, cafe-cafe dan seterusnya, semuanya ada.

III

Tanpa bermaksud bernostalgia, menurut saya Purwokerto tidak akan menjadi seperti yang sekarang ini mana kala di tahun 1962 UNSOED tidak dibangun. Artinya, munculnya universitas besar di suatu kota adalah sebuah berkah, namun pada sisi yang lain musibah bagi kebudayaan setempat. Hal ini tentunya sekali lagi tidak perlu kita pandang secara pesimis, melainkan bagaimana kita tetap mengoptimiskan budaya daerah sebagai local wisdom yang harus dilestarikan.

Saat ini mungkin penggunaan bahasa Indonesia masih bercampur dengan bahasa daerah, namun ketika generasi tua sebagai ‘cagar budaya’ sudah tiada, tidak mustahil 10-15 tahun orang Banyumas tidak bisa berbahasa Banyumas.

Selanjutnya bagaimana peran universitas dalam mengembalikan local wisdom yang tersisih itu? Saat ini UNSOED sendiri, sekali lagi menunjuk UNSOED karena UNSOED adalah perguruan terbesar di Purwokerto, membuka program studi bahasa dan sastra. Hanya saja, orientasi pasar yang ada, menurut saya yang menyebabkan bahasa dan sastra Banyumas tidak dibuka sebagai pilihan studi. Padahal, jika kita ingat, jejak-jejak budaya Banyumas cukup tinggi; legenda Kamandaka, ronggeng, dan sebagainya adalah jejak budaya yang membentuk Banyumas itu sendiri.

Studi budaya lokal, baik secara per program studi atau include dalam program studi lain seharusnya di adakan dalam kurikulum pendidikan. UNSOED (baca: universitas) seharusnya bertanggungjawab atas matinya kebudayaan lokal. Ketika modernitas menggerus tradisionalitas dengan rasionalismenya, maka penggugatan atas modernitas patut dilakukan. Artinya, ketika universitas sebagai simbol dari modernitas telah menggerus tradisi daerah, maka universitas pun patut digugat. Memang, apa yang terjadi tidak lah secara langsung bermuara pada universitas, akan tetapi efek domino yang ada menunjukan universitas ternyata juga menyumbang ke arah degradasi kebudayaan. Jika universitas masih mengimami Tri Darma Perguruan Tinggi, maka pengembalian budaya daerah atau lokal yang telah terkontaminasi budaya lain adalah salah satu tanggungjawab sosial yang harus diemban.[

Mata Air di Tegal Gundil

Oleh: Anggit Saranta, BengkelAO

Sabtu itu sebenarnya sama dengan sabtu-sabtu yang lain, tidak ada yang istimewa. Lalu lalang warga Bogor dan juga orang-orang Jakarta yang hendak meniju Puncak menjadi pemandangan biasa sebagaimana sabtu-sabtu sebelumnya. Jalanan ramai dan sesekali ada kemacetan akibat antrian di lampu merah. Beberapa pasangan muda-mudi juga terlihat asyik bercengkerama, entah apa yang mengasyikan mereka pastinya hanya mereka jugalah yang tahu.

Namun bagi saya sabtu itu adalah sabtu yang lain. Berbeda dengan sabtu malam biasanya dimana saya biasa menghabiskan waktu dengan nongkrong di air mancur, ke warnet atau main Playstation 2. Sabtu itu saya menuju Jl Bangbarung Raya, sebuah jalan yang ada di wilayah Tegal Gundil Bogor Utara, tepatnya jalan yang menuju Indraprasta. Di jalan itu ada sebuah warung yang bukan warung biasa. Para pengelolanya menyebutnya dengan “warteg”, singkatan dari Warung Tegal Gundil. Yang menarik warung tersebut ternyata dikelola muda-mudi warga kampung tegal Gundil yang menamakan kelompok/ komunitasnya dengan sebutan “KALAM” Komunitas Kampung Halaman. Warteg di jalan Bangbarung dalam pengamatan saya tidak sekedar warteg dalam arti sebenarnya. Di warung itu terdapat Distro, Perpustakaan baca, dan juga radio komunitas yang mereka namakan BeTe Radio. Lokasi Warteg yang ada di pinggir jalan saya nilai cukup strategis sehingga memudahkan siapapun yang hendak menuju lokasi tersebut. Seperti halnya saya sabtu itu. Meskipun kunjungan saya kali ini bukan yang pertama kali bahkan ini adalah kali ke empat saya berkunjung, tetap saja kedatangan kali ini sangat berkesan bagi saya.

Awalnya saya diajak Amu, anggota KALAM yang saya kenal di Tugu Kujang. Ketika itu saya sedang Performance Mime Street dalam rangka hari bumi 22 April 2006. Amu berdua bersama Sena (juga anggota KALAM) mengenalkan KALAM kepada saya. Dari situlah sedikit demi sedikit saya mengenal KALAM. Sebuah komunitas anak muda yang mencoba menebarkan virus cita-cita bagi anak muda. Berawal dari keprihatinan beberapa pemuda kampung Tegal Gundil atas kondisi kampungnya, dimana ketika itu kebanyakan anak muda Tegal Gundil tidak memiliki orientasi / cita-cita. Nongkrong, main kartu, gitar-gitaran yang tidak jelas bahkan beberapa diantara mereka terjabak pada dunia miras dan narkoba. Akhirnya dari keprihatinan tersebut muncul sebuah keinginan untuk berbuat sesuatu. Kira-kira demikian yang bisa saya tangkap dari narasi tentang sejarah awal berdirinya KALAM yang diceritakan oleh Ridho sang Presiden KALAM. Dari keinginan tersebut akhirnya dikristalkan dengan pembentukan sebuah wadah yang dapat mengakomodir kegiatan-kegiatan kreatif anggotanya. Kemudian muncullah koran alternatif “Berita Tegal Gundil” yang menginformasikan segala kegiatan di seputar kelurahan Tegal Gundal. Kemunculan koran tersebut ternyata mendapat sambutan bagus dari warga. Partisipasipun akhirnya mengalir tanpa diminta. Koran tersebut ternyata ikut mendorong kegiatan-kegiatan positif lain. Titik balik dari kegiatan tersebut adalah terselenggaranya “Pesta Warga” yang melibatkan seluruh komponen yang ada di wilayah Tegal Gundil, semacam festival yang terdiri dari Bazaar, pentas seni hingga nonton bareng. Tak lama kemudian kegiatan seperti Sanggar Barudak, Film Independen, Multimedia, percetakan, sablon hingga event organizer menjadi rutinitas kegiatan KALAM. Dan di sanggar barudak inilah saya menemukan perpustakaan baca, studio radio serta cafĂ© yang lokasinya menyatu dengan warung-warung pedagang kaki lima. Di KALAM memang dalam salah satu agendannya adalah memfasilitasi tempat bagi keberadaan kaki lima di sepanjang Bangbarung Raya agar terlihat rapi bersih dan tentunya bebas dari Polisi Pamong Praja (Pol PP). Dalam pengamatan saya memang sepanjang Jl Bangbarung Raya kaki lima terlihat rapi dan nyaman. Bangunan saung bambu yang menggantikan tenda turut mempercantik keberadaan pedagang tersebut. Di lokasi terpisah, sekretariat KALAM sendiri terdapat ruang belajar dan bermain anak-anak, studio multimedia kecil-kecilan yang juga berfungsi sebagai kantor.

Apa yang saya saksikan di KALAM sesungguhnya juga terjadi di tempat-tempat lain. Ketika orang-orang muda mencoba kreatif untuk berbuat sesuatu bagi lingkungannya. Kondisi ekonomi dan berkembangnya kemajuan jaman yang terkadang tidak menyisakan ruang bagi mereka telah memunculkan semangat kemandirian tersendiri. Bagi saya yang patut dicatat dan kita berikan penghargaan atas kegiatan mereka adalah inisiatif untuk berkreasi dengan dana sendiri. Artinya tanpa bantuan ataupun binaan pemerintah. Mereka mampu membiayai kegiatan mereka sendiri, tak jarang dari proses kegiatan ini justru mampu memberikan kontribusi pendapatan bagi mereka. Inilah kelebihannya. Mungkin komunitas kreatif ini justru mampu memberikan jawaban positif atas apa yang sedang terjadi pada dunia anak muda saat ini. Bisa dibilang inilah pilihan alternatif selain Karang Taruna yang memang sudah jarang kita dengar popularitasnya. Secara formal Karang Taruna memang lebih diakui, namun sifat ketergantungan modal untuk kegiatan yang harus menunggu dana pemerintah, menjadikan Karang Taruna tidak memiliki jiwa survival yang tinggi. Bahkan kegiatannya pun cenderung stagnan, hanya yang mendapat restu dan memiliki feedback pada pemerintah saja. Bisa dibayangkan apa jawaban yang diberikan departemen terkait ketika Karang Taruna mengajukan seabrek proposal pembuatan film independen. Apakah ini sebuah gejala atau sekedar apriori terhadap ikatan formal, dimana komunitas anak muda ini tidak begitu memperhatikan pengakuan lembaga formal (pemerintah), bagi mereka dengan pengakuan masyarakat saja sudah cukup. Dan sepertinya inilah yang lebih penting.

Tanpa bermaksud menafikan atas apa yang akan dan telah dilakukan Karang Taruna, KALAM telah mengajarkan sesuatu yang berbeda. Totalitas anggotanya untuk bekerja di komunitas memberikan kesan tersendiri bagi saya. Berbuat sesuatu bagi kampung halamannya serta ikut bertanggung jawab atas pendidikan dan mental generasi berikutnya (anak-anak) adalah sesuatu yang mulia. Virus cita-cita yang coba mereka gulirkan pada akhirnya mampu membuat sebagian anggotanya kini memiliki orientasi. Namun untuk menjadi berarti seperti sekarang ini KALAM tidak begitu saja muncul melalui jalan mulus, banyak proses yang telah mereka lalui. Kepergian beberapa anggota akibat seleksi alam sempat menghentikan aktivitas mereka. Dan kini dengan semangat baru orang-orang muda ini berusaha meniti jalan mereka sendiri, yang menurutnya ‘semoga kali ini benar’. Seperti keyakinan yang mereka ucapkan sabtu malam itu.. Seperti biasa kunjungan saya untuk keempat kalinya ini adalah dalam rangka agenda budaya untuk menggalang dan mempertemukan seniman dan komunitas seni yang ada di Bogor. Dalam hal ini KALAM berpartisipasi sebagai fasilitator penggarapan Film Independen dan aksi art yang direncanakan di gelar 16 malam 17 agustus nanti. Dari diskusi dan obrolan santai selama ini telah menimbulakn kedekatan anatra personel KALAM dengan diri saya. Puncaknya adalah ketika KALAM mengadakan pengukuhan anggota baru yang mana secara tidak sengaja saya turut hadir bersama rekan seniman lainnya. Seperti yang lainnya, saat itu saya juga turut memberikan beberapa kata dan harapan untuk KALAM kedepan. Sebuah genggaman erat dan pelukan hangat menghampiri saya usai memberi sambutan kata malam itu. Bisikan dari Ridho sang presiden yang didekatkan pada pengeras suara memberi kejutan lain bagi saya. Sebuah penghargaan yang cukup berati bagi pengembara seperti saya.”Selamat, mulai malam ini anda adalah bagian dari anggota KALAM”.